Wajah itu Nurul. Ya Nurul. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran, aku melihatnya, tak jauh dari kakiku bersama teman-temannya. Kulihat sekilas wajahnya sendu. Ada juga ketua dan pengurus PPMI, Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Saiful duduk di dekat kepalaku. Ia paling dekat denganku. Tangannya mengusap pipiku yang basah.
“Alhamdulillah, Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah.
“Sabar Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sakit apa katanya Saif?”
“Dokter belum menjelaskannya Mas.”
Zaimul Abrar, Ketua PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh mahasiswa ikut merasa sedih atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian Nurul mewakili teman-temannya, ketika dekat dengan diriku ia menatapku dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat selesaikan masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,” katanya terbata-bata. Aku mendengarnya dengan sesekali memejamkan mata.
“Mas kami pamit. Kami sudah lama di sini. Syafakallah!” ucap Zaim.
“Kami juga minta diri Kak,” ikut Nurul.
Mereka pun pulang. Aku merasa wujudku benar-benar ada dan berarti. Aku merasa diperhatikan, disayang, dan dicintai semua orang.
Dua menit setelah mereka keluar, Syaikh Ahmad datang bersama Ummu Aiman. Syaikh Ahmad berusaha tersenyum padaku. Beliau memelukku pelan sambil mendoakan kesembuhanku. Ia tahu aku sakit dari Mishbah yang ketika shalat shubuh mengabarkan padanya. Syaikh Ahmad memberikan sedikit tadzkirah yang membesarkan hatiku dan menguatkan jiwaku.
“Pintu-pintu surga terbuka lebar untuk orang yang sabar menerima ujian dari Allah!”
Syaikh Ahmad tidak lama berada di sisiku. Tak lebih dari seperempat jam. Setelah itu pamitan. Beliau membawa dua kilo anggur yang sangat segar.
* * *
Menjelang maghrib Dokter Ramzi Shakir memberi tahu setelah melihat hasil foto rontgen kepalaku, aku harus dioperasi. Ada gumpalan darah beku yang harus dikeluarkan. Rencananya operasi besok pagi pukul delapan. Aku diminta untuk puasa malam ini. Aku mungkin akan tinggal di rumah sakit sekitar satu bulan lamanya. Aku menitikkan air mata. Saiful dan Mishbah menghibur, meskipun kulihat mereka berdua juga menitikkan air mata.
Menjelang Isya, Syaikh Utsman Abdul Fattah benar-benar datang bersama beberapa teman Mesir yang mengaji qiraah sab’ah pada beliau. Syaikh Utsman mengusap kepalaku, persis seperti ayahku mengusap kepalaku. Beliau tersenyum padaku. Beliau meminta kepada semuanya untuk keluar sebentar. Beliau ingin berbicara hanya berdua denganku. Saiful, Mishbah dan teman-teman Mesir keluar meninggalkan kami. Syaikh Utsman duduk di kursi dekat dadaku.
Sambil mengelus rambut kepalaku beliau berkata,
“Anakku, ceritakan padaku apa yang dilakukan sahabat nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud padamu?”
Aku kaget bukan main. Bagaimana Syaikh Utsman tahu kalau aku bertemu sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud dalam pingsanku.
“Tadi malam jam tiga saat aku tidur setelah tahajjud aku didatangi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Aku hanya sempat bersalaman saja. Beliau bilang akan menjengukmu sebelum aku menjengukmu.” Syaikh Utsman seperti mengerti keherananku, beliau menjelaskan bagaimana beliau tahu aku kedatangan Abdullah bin Mas’ud.
“Bagaimana Syaikh bisa yakin aku benar-benar di datangi Abdullah bin Mas’ud?” tanyaku dengan suara serak untuk lebih meyakinkan diriku.
“Seperti keyakinan Rasulullah ketika bermimpi akan berhaji dan membuka kota Makkah.”
Jawaban singkat Syaikh Utsman menyadarkan diriku akan kekuatan mimpi orang-orang shaleh yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Untung aku sudah membaca dan menelaah Kitab Ar Ruuh yang ditulis oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauzi. Murid utama Imam Ahmad bin Hambal dan ulama terkemuka pada zamannya itu membahas masalah ruh dengan tuntas disertai dalil-dalil yang tidak bisa diragukan. Bahwa ruh orang yang telah wafat bisa bertemu dengan ruh orang yang masih hidup. Semuanya atas izin dan kekuasaan Allah Swt. Kisah para sahabat dan ulama salafush shalih menjadi bukti dan kenyataan yang terang tiada keraguan seperti terangnya cahaya matahari di waktu siang.
Di antaranya, Imam Ibnu Qayyim menuliskan kisah nyata, dengan sanad yang shahih, dari Imam Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Shahr bin Hausyab:
Bahwa dua orang sahabat nabi yaitu Sha’b bin Jitsamah dan Auf bin Malik adalah bersaudara. Sha’b berkata kepada Auf,
‘Saudaraku, jika salah satu di antara kita mati dahulu maka harus berusaha datang menemui dalam mimpi.’
Auf berkata, ‘Apakah itu mungkin?’
Sha’ab menjawab, ‘Ya.’
Kemudian meninggallah Sha’b. Dan Auf melihatnya di dalam mimpi seolah Sha’b mengunjunginya. Auf menyapa, ‘Wahai Saudaraku!’
‘Ya.’ Jawab Sha’b.
‘Apa yang terjadi denganmu?’ tanya Auf.
‘Beberapa dosaku telah diampuni.’ Jawab Sha’b.
Auf melihat ada noda hitam di lehar Sha’b. Ia langsung bertanya, ‘Saudaraku, ini apa?’
Sha’b menjawab, ‘Ini adalah sepuluh dinar yang aku pinjam dari lelaki Yahudi (dan belum aku kembalikan). Sepuluh dinar itu ada di dalam tanduk milikku, berikanlah padanya. Ketahuilah Saudaraku, semua kejadian yang menimpa keluargaku setelah kematianku telah kuketahui kabarnya, termasuk kucing yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan ketahuilah, puteriku akan meninggal enam hari lagi, maka berwasiatlah yang baik untuknya.’
Ketika bangun Auf berkata, ‘Dalam mimpi ini ada pemberitahuan.’
Auf lalu mendatangi keluarga Sha’b. Mereka menyambutnya dengan hangat dan berkata, ‘Selamat datang Auf, apakah seperti ini perlakuanmu pada keluarga yang ditinggal saudaramu? Kau tidak mendatangi kami sejak dia meninggal.’ Auf memberikan alasan seperti orang-orang memberi alasan. Lalu melihat tanduk dan menurunkan dari tempatnya. Dan menemukan kantung berisi dinar di dalamnya. Lalu membawanya ke tempat orang Yahudi.
Auf bertanya pada orang Yahudi, ‘Apakah Sha’b punya hutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia termasuk sahabat nabi yang utama. Hutangku kuikhlaskan untuknya.’
Auf mendesak, ‘Katakanlah padaku berapa dia berhutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Sepuluh dinar.’
Auf lalu menyerahkan kantong berisi sepuluh dinar itu pada orang Yahudi. Auf berkata, ‘Ini yang pertama!’
Kemudian Auf kembali menemui keluarga Sha’b dan bertanya, ‘Apakah ada suatu kejadian di rumah kalian setelah kematian Sha’b?’
Mereka menjawab, ‘Ya, kucing kami mati beberapa hari yang lalu!’
Auf berkata, ‘Ini yang kedua!’
Lantas Auf bertanya, ‘Mana anak perempuan Saudaraku?’
“Dia sedang bermain.’ Jawab mereka.
Auf lalu mendatanginya dan mengusap-usapnya, anak puteri itu ternyata sedang demam. Auf berkata pada mereka, ‘Berwasiat baiklah untuknya.’ Dan anak perempuan itu meninggal enam hari kemudian.
Kisah serupa sangat banyak terjadi di zaman sahabat nabi dan zaman tabiin. Imam Ibnu Abdul Bar yang mengarang kitab ‘Al Tamhid’ penjelas kitab Muwatta’ Imam Malik menuturkan kisah tsabit bin Qaish bin Syamas yang mati syahid dan mendatangi Abu Bakar dalam mimpinya karena punya hutang. Abu Bakar pun menjalankan wasiat Tsabit.
Syaikh Utsman masih menunggu jawabanku.
“Anakku, apa yang kau dapat dari Abdullah bin Mas’ud yang mendatangimu. Ceritakanlah pelan-pelan, aku ingin tahu?’ Syaikh Utsman kembali mengulangi pertanyaannya. Aku lalu menceritakan semuanya. Syaikh Utsman menitikkan air mata dan berkata, ‘Allah yubarik fik ya bunayya!’ [86] Lalu beliau berpesan agar aku tidak menceritakan mimpi ini kepada siapa-siapa, kecuali orang-orang yang bisa dipercaya. Mimpi seperti ini tidak semua orang suka mendengarnya, dan tidak semua orang mempercayainya.
Syaikh Utsman lalu mengeluarkan botol kecil dari saku jubahnya.
‘Ini aku bawakan air zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat. Minumlah dengan terlebih dahulu membaca shalawat nabi dan berdoa minta kesembuhan dan ilmu yang manfaat.’ Ucap beliau.
Aku belum bisa menggerakkan tanganku. Syaikh Utsman agaknya tahu. Beliau sendiri yang meminumkan air zamzam itu ke mulutku. Setelah itu beliau berpesan agar aku memperbanyak istighfar dan shalawat. Agar aku mengikuti semua petunjuk dokter dan minum obat yang teratur. Aku beberkan semua kecemasanku pada beliau, terutama tentang kepalaku yang mau dioperasi. Beliau menenangkan diriku. Beliau minta kepadaku agar besok pagi minta kepada dokter untuk memfoto rontgen sekali lagi. Jika tidak ada perubahan dan memang harus dioperasi ya harus dijalani. Beliau akan berdoa semoga Allah memberikan jalan kesembuhan yang lebih mudah. Beliau mencium keningku seperti seorang kakek mencium cucunya. Setelah itu memanggil kembali teman-teman untuk masuk. Teman-teman Mesir berusaha menghibur. Si Mahmoud bercerita tentang Juha yang lucu, aku tersenyum mendengarnya. Pukul setengah sepuluh Syaikh Utsman dan teman-teman Mesir pamitan.
Menjelang tidur Himam datang. Ia bersama Hamim dan Mahmudi. Himam pernah satu bulan satu rumah denganku di Hayyul Asyir sebelum aku pindah ke Hadayek Helwan. Ia punya buku pijat refleksi dan suka mencoba-coba pada teman-teman satu rumah yang kelelahan. Itu pula yang dilakukan Himam terhadapku. Ia menyibak selimut di kakiku dan mencoba-coba mencari syaraf yang ia rasa ganjil di telapak kaki. Himam memijat dan aku menahan sakit. Begitu berulang-ulang. Lalu Himam memijit dengan santai ke seluruh kakiku, sampai aku tertidur.
* * *
Pagi hari aku merasa badanku lebih enak. Kepalaku lebih ringan. Jam enam pagi, aku minta Mishbah memberi tahukan pada dokter atau petugas bahwa aku minta dirontgen ulang. Aku tidak akan menandatangani surat kesediaan operasi sebelum dirontgen ulang dan hasilnya dilihat kembali dengan teliti.
Dengan senang hati, Dokter Ramzi memenuhi permintaanku. Aku digeledek ke ruang rontgen. Dua orang perawat mengangkatku ke meja yang menyatu dengan alat foto berukuran besar itu. Seorang petugas mengepaskan titik fokus di kepalaku. Aku di foto dalam tiga posisi. Lalu dibawa kembali ke kamar.
Sampai di kamar sudah ada Maria dan keluarganya. Maria menatapku dengan wajah sedih, juga Yousef, Tuan Boutros dan Madame Nahed. Mereka tahu kalau pagi ini aku akan dioperasi maka mereka datang untuk melihatku sebelum masuk ke ruang operasi. Maria menitikkan air mata ia takut terjadi apa-apa padaku. Aku bilang pada mereka semua, insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa dan aku akan sembuh seperti sedia kala.
Pukul setengah sembilan Dokter Ramzi datang dengan wajah cerah. Beliau menyerahkan hasil rontgen dan membawa kabar gembira, “Entah ini mukjizat atau apa, gumpalan darah beku di bawah tempurung kepalanya itu telah tiada.” Dokter Ramzi minta aku mencoba menggerakkan tanganku, meskipun sangat pelan aku bisa. “Tak perlu operasi, kau akan sembuh seperti sedia kala. Tinggal perawatan medis secara intensif untuk penyembuhan.”
Aku mengucapkan syukur berkali-kali kepada Allah atas anugerah ini. Kudengar Tuan Boutros memuji tuhannya; Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Kuminta kepada Saiful dan Mishbah untuk sujud syukur. Madame Nahed masih melihat foto rontgen. Dia membandingkan foto pertama dan foto kedua. Bibirnya berdesis, “Mahabesar kekuasaan Tuhan, ini mukjizat!”
Dokter Ramzi bilang aku telah melewati masa kritis, dia mengucapkan selamat kepadaku. Sejak itu keadaanku semakin membaik. Teman-teman mahasiswa Indonesia banyak yang berdatangan menjenguk. Beberapa staf KBRI yang kenal baik juga menjenguk. Teman-teman dari Malaysia, Patani dan Singapura juga.
Hari kelima aku sudah bisa bangkit dari tempat tidur. Aku sudah bisa makan sendiri dengan kedua tanganku. Dari hari ke hari perkembangan kesehatanku terus membaik. Hari ke sembilan aku sudah bisa ke toilet sendiri. Hari ke sebelas aku sudah bisa jalan-jalan keluar kamar, ke taman dan duduk-duduk di sana ditemani Saiful dan Mishbah. Hari itu juga Rudi, dan Hamdi pulang dari Luxor. Mereka sangat terkejut dan menyesal tidak berada di sisiku melewati masa kritis. Aku minta kepada Saiful untuk bertanya kapan aku boleh pulang dan kira-kira biaya semuanya berapa? Saiful memberi tahu dua hari lagi bisa pulang dan biaya semuanya sekitar seribu dua ratus dollar. Aku mengerutkan kening. Dalam tabunganku hanya ada lima ratus dollar. Aku bertanya mereka berempat ada uang berapa. Hamdi kosong, tinggal dua puluh lima pound saja. Rudi ada cadangan seratus dollar. Saiful lima puluh dollar. Dan Mahmoud juga lima puluh dollar. Berarti semua baru ada enam ratus dollar. Masih kurang enam ratus dollar. Dan bisa jadi totalannya nanti lebih dari itu. Mau tidak mau harus mencari pinjaman. Aku minta pada Rudi untuk menemui Pak Jayid Hadiwijaya, Atase Pendidikan yang baik hatinya, agar meminjam uang secukupnya dari beliau untuk biaya perawatan rumah sakit. Siang Rudi berangkat, sore kembali dengan membawa uang seribu dollar.
Pagi hari H aku boleh pulang ke rumah sakit Saiful mengurusi semua administrasi. Ia kembali ke kamar dengan wajah heran.
“Mas, biayanya semua sudah dilunasi seseorang,” lapornya dengan wajah ceria bercampur bingung.
“Siapa yang melunasinya?” tanyaku heran.
“Pihak rumah sakit tidak mau menyebutkan namanya,” jawabnya.
Rudi yang bertugas mencari mobil kembali bersama Tuan Boutros dan keluarganya. “Tak usah repot cari mobil, kami datang untuk menjemputmu pulang,” demikian Tuan Boutros. Aku tak menjawab apa-apa. Mereka sangat baik, seperti keluarga sendiri, seperti bukan orang lain. Aku teringat biaya yang sudah dilunasi, jangan-jangan mereka.
“Sebelum pulang aku mohon kejujuran kalian. Apakah kalian yang telah melunasi seluruh biaya perawatan saya?” tanyaku sambil memandang Tuan Boutros dan Madame Nahed bergantian.
“Tidak. Bukan kami,” jawab Madame Nahed.
“Kumohon demi kasih Isa Al Masih, kalian harus berterus terang, aku tidak akan tenang,” desakku.
“Kami benar-benar tidak melunasinya. Kami memang berniat melunasinya tapi sudah terlambat. Sudah ada yang mendahului kami. Kukira kalian sendiri yang telah melunasinya. Kami berkata yang sebenarnya,” terang Madame Nahed.
“Semoga Allah membalas dia dengan pahala yang tiada hentinya,” lirihku mendoakan orang yang telah membayar seluruh biaya perawatanku.
* * *
Hari itu kami pulang ke Hadayek Helwan. Selama perjalanan Madame Nahed memberi tahu sakit apa aku sebenarnya.
“Dokter Ramzi mengatakan kau terkena Heat Stroke dan Meningitis sekaligus. Tapi sekarang sudah sembuh.”
Aku sudah tahu heat stroke itu apa. Madame Nahed pernah menerangkannya. Tapi meningitis, aku belum tahu jenis penyakit apa itu. “Apa itu meningitis, Madame?”
“Meningitis, adalah penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan oleh kuman meningokoccal. Kuman penyakit ini cepat menular pada suhu tinggi atau rendah. Cara penularan penyakit Meningitis Meningokoccal adalah melalui kontak langsung, terkena percikan air ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan dari tenggorokan penderita penyakit Meningitis Meningokoccal. Tanda-tanda orang yang terkena meningitis adalah panas mendadak, sakit kepala luar biasa, kemerahan di kulit dan kaku kuduk. Tapi kau tidak usah kuatir. Kau sudah sembuh dan terbebas dari kuman meningokoccal. Dokter Ramzi mengatakan begitu. Kau sudah diterapi dengan pengobatan propilaksis memakai cyproflovacin terbaik. Yang sekarang harus kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu. Jangan keluar rumah dulu. Jaga kondisi tubuh supaya tetap segar. Istirahat yang cukup 6-8 jam sehari semalam. Jangan menantang panas. Minum yang cukup. Jangan sekali-kali minum dari kran air minum umum di pinggir jalan seperti orang-orang, sebab kebersihannya kurang. Gelasnya cuma satu untuk minum bergantian. Sangat riskan terjadi penularan kuman. Banyak makan buah-buahan segar seperti anggur, jeruk, apel, mangga, semangka, dan lain sebagainya.” Madame Nahed memberi penjelasan yang cukup dan sangat berguna bagi diriku.
* * *
Sejak pulang dari rumah sakit, aku merubah peta hidup yang telah kurancang satu bulan ke depan. Aku lebih banyak di rumah. Kegiatan menerjemah sementara aku tinggal dulu. Waktuku kuhabiskan untuk buku-buku yang berkaitan dengan materi penulisan tesis. Syaikh Utsman memberiku izin tidak ikut mengaji sampai musim panas benar-benar reda.
Aku masih penasaran siapa yang melunasi biaya rumah sakit itu. Aku dan teman-teman meraba-raba beberapa kemungkinan.
Saiful menduga yang membayar Syaikh Utsman, bisa murni dari saku beliau bisa juga beliau menyalurkan zakat mal para dermawan. Beliau adalah tokoh yang memiliki banyak koneksi dan akses.
Sedangkan Hamdi berpendapat yang melunasi mungkin Syaikh Ahmad. Karena beliau dan isterinya dikenal kaya, dermawan, dan suka menolong orang. Rudi lain lagi, dia menduga yang melunasi adalah pihak KBRI. Mungkin diam-diam Pak Atase Pendidikan mengucurkan dana dari anggaran kemasyarakatan.
Mishbah tidak berpendapat apa-apa, tapi dia berkomentar yang paling tidak mungkin adalah pendapat Rudi. Bagaimana mungkin Atase Pendidikan mengeluarkan dana untuk biaya seorang mahasiswa yang sakit sedangkan diminta dana untuk pelatihan ekonomi Islam saja seretnya bukan main. Itu alasan Mishbah yang sedikit kecewa dengan KBRI.
Entahlah siapa sebenarnya dia yang berhati putih itu. Mata hatiku berkata, yang membayar bukan yang disebut teman-teman itu. Tapi orang lain. Dan orang lain itu adalah orang yang berhati ikhlas, mengenalku, sangat perhatian padaku, dan aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak bisa menduga sebuah nama. Aku hanya berdoa, agar suatu saat nanti Allah membuka rahasia siapa malaikat itu sebenarnya. Aku berharap bisa membalas kebaikannya.
“Alhamdulillah, Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah.
“Sabar Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sakit apa katanya Saif?”
“Dokter belum menjelaskannya Mas.”
Zaimul Abrar, Ketua PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh mahasiswa ikut merasa sedih atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian Nurul mewakili teman-temannya, ketika dekat dengan diriku ia menatapku dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat selesaikan masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,” katanya terbata-bata. Aku mendengarnya dengan sesekali memejamkan mata.
“Mas kami pamit. Kami sudah lama di sini. Syafakallah!” ucap Zaim.
“Kami juga minta diri Kak,” ikut Nurul.
Mereka pun pulang. Aku merasa wujudku benar-benar ada dan berarti. Aku merasa diperhatikan, disayang, dan dicintai semua orang.
Dua menit setelah mereka keluar, Syaikh Ahmad datang bersama Ummu Aiman. Syaikh Ahmad berusaha tersenyum padaku. Beliau memelukku pelan sambil mendoakan kesembuhanku. Ia tahu aku sakit dari Mishbah yang ketika shalat shubuh mengabarkan padanya. Syaikh Ahmad memberikan sedikit tadzkirah yang membesarkan hatiku dan menguatkan jiwaku.
“Pintu-pintu surga terbuka lebar untuk orang yang sabar menerima ujian dari Allah!”
Syaikh Ahmad tidak lama berada di sisiku. Tak lebih dari seperempat jam. Setelah itu pamitan. Beliau membawa dua kilo anggur yang sangat segar.
* * *
Menjelang maghrib Dokter Ramzi Shakir memberi tahu setelah melihat hasil foto rontgen kepalaku, aku harus dioperasi. Ada gumpalan darah beku yang harus dikeluarkan. Rencananya operasi besok pagi pukul delapan. Aku diminta untuk puasa malam ini. Aku mungkin akan tinggal di rumah sakit sekitar satu bulan lamanya. Aku menitikkan air mata. Saiful dan Mishbah menghibur, meskipun kulihat mereka berdua juga menitikkan air mata.
Menjelang Isya, Syaikh Utsman Abdul Fattah benar-benar datang bersama beberapa teman Mesir yang mengaji qiraah sab’ah pada beliau. Syaikh Utsman mengusap kepalaku, persis seperti ayahku mengusap kepalaku. Beliau tersenyum padaku. Beliau meminta kepada semuanya untuk keluar sebentar. Beliau ingin berbicara hanya berdua denganku. Saiful, Mishbah dan teman-teman Mesir keluar meninggalkan kami. Syaikh Utsman duduk di kursi dekat dadaku.
Sambil mengelus rambut kepalaku beliau berkata,
“Anakku, ceritakan padaku apa yang dilakukan sahabat nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud padamu?”
Aku kaget bukan main. Bagaimana Syaikh Utsman tahu kalau aku bertemu sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud dalam pingsanku.
“Tadi malam jam tiga saat aku tidur setelah tahajjud aku didatangi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Aku hanya sempat bersalaman saja. Beliau bilang akan menjengukmu sebelum aku menjengukmu.” Syaikh Utsman seperti mengerti keherananku, beliau menjelaskan bagaimana beliau tahu aku kedatangan Abdullah bin Mas’ud.
“Bagaimana Syaikh bisa yakin aku benar-benar di datangi Abdullah bin Mas’ud?” tanyaku dengan suara serak untuk lebih meyakinkan diriku.
“Seperti keyakinan Rasulullah ketika bermimpi akan berhaji dan membuka kota Makkah.”
Jawaban singkat Syaikh Utsman menyadarkan diriku akan kekuatan mimpi orang-orang shaleh yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Untung aku sudah membaca dan menelaah Kitab Ar Ruuh yang ditulis oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauzi. Murid utama Imam Ahmad bin Hambal dan ulama terkemuka pada zamannya itu membahas masalah ruh dengan tuntas disertai dalil-dalil yang tidak bisa diragukan. Bahwa ruh orang yang telah wafat bisa bertemu dengan ruh orang yang masih hidup. Semuanya atas izin dan kekuasaan Allah Swt. Kisah para sahabat dan ulama salafush shalih menjadi bukti dan kenyataan yang terang tiada keraguan seperti terangnya cahaya matahari di waktu siang.
Di antaranya, Imam Ibnu Qayyim menuliskan kisah nyata, dengan sanad yang shahih, dari Imam Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Shahr bin Hausyab:
Bahwa dua orang sahabat nabi yaitu Sha’b bin Jitsamah dan Auf bin Malik adalah bersaudara. Sha’b berkata kepada Auf,
‘Saudaraku, jika salah satu di antara kita mati dahulu maka harus berusaha datang menemui dalam mimpi.’
Auf berkata, ‘Apakah itu mungkin?’
Sha’ab menjawab, ‘Ya.’
Kemudian meninggallah Sha’b. Dan Auf melihatnya di dalam mimpi seolah Sha’b mengunjunginya. Auf menyapa, ‘Wahai Saudaraku!’
‘Ya.’ Jawab Sha’b.
‘Apa yang terjadi denganmu?’ tanya Auf.
‘Beberapa dosaku telah diampuni.’ Jawab Sha’b.
Auf melihat ada noda hitam di lehar Sha’b. Ia langsung bertanya, ‘Saudaraku, ini apa?’
Sha’b menjawab, ‘Ini adalah sepuluh dinar yang aku pinjam dari lelaki Yahudi (dan belum aku kembalikan). Sepuluh dinar itu ada di dalam tanduk milikku, berikanlah padanya. Ketahuilah Saudaraku, semua kejadian yang menimpa keluargaku setelah kematianku telah kuketahui kabarnya, termasuk kucing yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan ketahuilah, puteriku akan meninggal enam hari lagi, maka berwasiatlah yang baik untuknya.’
Ketika bangun Auf berkata, ‘Dalam mimpi ini ada pemberitahuan.’
Auf lalu mendatangi keluarga Sha’b. Mereka menyambutnya dengan hangat dan berkata, ‘Selamat datang Auf, apakah seperti ini perlakuanmu pada keluarga yang ditinggal saudaramu? Kau tidak mendatangi kami sejak dia meninggal.’ Auf memberikan alasan seperti orang-orang memberi alasan. Lalu melihat tanduk dan menurunkan dari tempatnya. Dan menemukan kantung berisi dinar di dalamnya. Lalu membawanya ke tempat orang Yahudi.
Auf bertanya pada orang Yahudi, ‘Apakah Sha’b punya hutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia termasuk sahabat nabi yang utama. Hutangku kuikhlaskan untuknya.’
Auf mendesak, ‘Katakanlah padaku berapa dia berhutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Sepuluh dinar.’
Auf lalu menyerahkan kantong berisi sepuluh dinar itu pada orang Yahudi. Auf berkata, ‘Ini yang pertama!’
Kemudian Auf kembali menemui keluarga Sha’b dan bertanya, ‘Apakah ada suatu kejadian di rumah kalian setelah kematian Sha’b?’
Mereka menjawab, ‘Ya, kucing kami mati beberapa hari yang lalu!’
Auf berkata, ‘Ini yang kedua!’
Lantas Auf bertanya, ‘Mana anak perempuan Saudaraku?’
“Dia sedang bermain.’ Jawab mereka.
Auf lalu mendatanginya dan mengusap-usapnya, anak puteri itu ternyata sedang demam. Auf berkata pada mereka, ‘Berwasiat baiklah untuknya.’ Dan anak perempuan itu meninggal enam hari kemudian.
Kisah serupa sangat banyak terjadi di zaman sahabat nabi dan zaman tabiin. Imam Ibnu Abdul Bar yang mengarang kitab ‘Al Tamhid’ penjelas kitab Muwatta’ Imam Malik menuturkan kisah tsabit bin Qaish bin Syamas yang mati syahid dan mendatangi Abu Bakar dalam mimpinya karena punya hutang. Abu Bakar pun menjalankan wasiat Tsabit.
Syaikh Utsman masih menunggu jawabanku.
“Anakku, apa yang kau dapat dari Abdullah bin Mas’ud yang mendatangimu. Ceritakanlah pelan-pelan, aku ingin tahu?’ Syaikh Utsman kembali mengulangi pertanyaannya. Aku lalu menceritakan semuanya. Syaikh Utsman menitikkan air mata dan berkata, ‘Allah yubarik fik ya bunayya!’ [86] Lalu beliau berpesan agar aku tidak menceritakan mimpi ini kepada siapa-siapa, kecuali orang-orang yang bisa dipercaya. Mimpi seperti ini tidak semua orang suka mendengarnya, dan tidak semua orang mempercayainya.
Syaikh Utsman lalu mengeluarkan botol kecil dari saku jubahnya.
‘Ini aku bawakan air zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat. Minumlah dengan terlebih dahulu membaca shalawat nabi dan berdoa minta kesembuhan dan ilmu yang manfaat.’ Ucap beliau.
Aku belum bisa menggerakkan tanganku. Syaikh Utsman agaknya tahu. Beliau sendiri yang meminumkan air zamzam itu ke mulutku. Setelah itu beliau berpesan agar aku memperbanyak istighfar dan shalawat. Agar aku mengikuti semua petunjuk dokter dan minum obat yang teratur. Aku beberkan semua kecemasanku pada beliau, terutama tentang kepalaku yang mau dioperasi. Beliau menenangkan diriku. Beliau minta kepadaku agar besok pagi minta kepada dokter untuk memfoto rontgen sekali lagi. Jika tidak ada perubahan dan memang harus dioperasi ya harus dijalani. Beliau akan berdoa semoga Allah memberikan jalan kesembuhan yang lebih mudah. Beliau mencium keningku seperti seorang kakek mencium cucunya. Setelah itu memanggil kembali teman-teman untuk masuk. Teman-teman Mesir berusaha menghibur. Si Mahmoud bercerita tentang Juha yang lucu, aku tersenyum mendengarnya. Pukul setengah sepuluh Syaikh Utsman dan teman-teman Mesir pamitan.
Menjelang tidur Himam datang. Ia bersama Hamim dan Mahmudi. Himam pernah satu bulan satu rumah denganku di Hayyul Asyir sebelum aku pindah ke Hadayek Helwan. Ia punya buku pijat refleksi dan suka mencoba-coba pada teman-teman satu rumah yang kelelahan. Itu pula yang dilakukan Himam terhadapku. Ia menyibak selimut di kakiku dan mencoba-coba mencari syaraf yang ia rasa ganjil di telapak kaki. Himam memijat dan aku menahan sakit. Begitu berulang-ulang. Lalu Himam memijit dengan santai ke seluruh kakiku, sampai aku tertidur.
* * *
Pagi hari aku merasa badanku lebih enak. Kepalaku lebih ringan. Jam enam pagi, aku minta Mishbah memberi tahukan pada dokter atau petugas bahwa aku minta dirontgen ulang. Aku tidak akan menandatangani surat kesediaan operasi sebelum dirontgen ulang dan hasilnya dilihat kembali dengan teliti.
Dengan senang hati, Dokter Ramzi memenuhi permintaanku. Aku digeledek ke ruang rontgen. Dua orang perawat mengangkatku ke meja yang menyatu dengan alat foto berukuran besar itu. Seorang petugas mengepaskan titik fokus di kepalaku. Aku di foto dalam tiga posisi. Lalu dibawa kembali ke kamar.
Sampai di kamar sudah ada Maria dan keluarganya. Maria menatapku dengan wajah sedih, juga Yousef, Tuan Boutros dan Madame Nahed. Mereka tahu kalau pagi ini aku akan dioperasi maka mereka datang untuk melihatku sebelum masuk ke ruang operasi. Maria menitikkan air mata ia takut terjadi apa-apa padaku. Aku bilang pada mereka semua, insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa dan aku akan sembuh seperti sedia kala.
Pukul setengah sembilan Dokter Ramzi datang dengan wajah cerah. Beliau menyerahkan hasil rontgen dan membawa kabar gembira, “Entah ini mukjizat atau apa, gumpalan darah beku di bawah tempurung kepalanya itu telah tiada.” Dokter Ramzi minta aku mencoba menggerakkan tanganku, meskipun sangat pelan aku bisa. “Tak perlu operasi, kau akan sembuh seperti sedia kala. Tinggal perawatan medis secara intensif untuk penyembuhan.”
Aku mengucapkan syukur berkali-kali kepada Allah atas anugerah ini. Kudengar Tuan Boutros memuji tuhannya; Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Kuminta kepada Saiful dan Mishbah untuk sujud syukur. Madame Nahed masih melihat foto rontgen. Dia membandingkan foto pertama dan foto kedua. Bibirnya berdesis, “Mahabesar kekuasaan Tuhan, ini mukjizat!”
Dokter Ramzi bilang aku telah melewati masa kritis, dia mengucapkan selamat kepadaku. Sejak itu keadaanku semakin membaik. Teman-teman mahasiswa Indonesia banyak yang berdatangan menjenguk. Beberapa staf KBRI yang kenal baik juga menjenguk. Teman-teman dari Malaysia, Patani dan Singapura juga.
Hari kelima aku sudah bisa bangkit dari tempat tidur. Aku sudah bisa makan sendiri dengan kedua tanganku. Dari hari ke hari perkembangan kesehatanku terus membaik. Hari ke sembilan aku sudah bisa ke toilet sendiri. Hari ke sebelas aku sudah bisa jalan-jalan keluar kamar, ke taman dan duduk-duduk di sana ditemani Saiful dan Mishbah. Hari itu juga Rudi, dan Hamdi pulang dari Luxor. Mereka sangat terkejut dan menyesal tidak berada di sisiku melewati masa kritis. Aku minta kepada Saiful untuk bertanya kapan aku boleh pulang dan kira-kira biaya semuanya berapa? Saiful memberi tahu dua hari lagi bisa pulang dan biaya semuanya sekitar seribu dua ratus dollar. Aku mengerutkan kening. Dalam tabunganku hanya ada lima ratus dollar. Aku bertanya mereka berempat ada uang berapa. Hamdi kosong, tinggal dua puluh lima pound saja. Rudi ada cadangan seratus dollar. Saiful lima puluh dollar. Dan Mahmoud juga lima puluh dollar. Berarti semua baru ada enam ratus dollar. Masih kurang enam ratus dollar. Dan bisa jadi totalannya nanti lebih dari itu. Mau tidak mau harus mencari pinjaman. Aku minta pada Rudi untuk menemui Pak Jayid Hadiwijaya, Atase Pendidikan yang baik hatinya, agar meminjam uang secukupnya dari beliau untuk biaya perawatan rumah sakit. Siang Rudi berangkat, sore kembali dengan membawa uang seribu dollar.
Pagi hari H aku boleh pulang ke rumah sakit Saiful mengurusi semua administrasi. Ia kembali ke kamar dengan wajah heran.
“Mas, biayanya semua sudah dilunasi seseorang,” lapornya dengan wajah ceria bercampur bingung.
“Siapa yang melunasinya?” tanyaku heran.
“Pihak rumah sakit tidak mau menyebutkan namanya,” jawabnya.
Rudi yang bertugas mencari mobil kembali bersama Tuan Boutros dan keluarganya. “Tak usah repot cari mobil, kami datang untuk menjemputmu pulang,” demikian Tuan Boutros. Aku tak menjawab apa-apa. Mereka sangat baik, seperti keluarga sendiri, seperti bukan orang lain. Aku teringat biaya yang sudah dilunasi, jangan-jangan mereka.
“Sebelum pulang aku mohon kejujuran kalian. Apakah kalian yang telah melunasi seluruh biaya perawatan saya?” tanyaku sambil memandang Tuan Boutros dan Madame Nahed bergantian.
“Tidak. Bukan kami,” jawab Madame Nahed.
“Kumohon demi kasih Isa Al Masih, kalian harus berterus terang, aku tidak akan tenang,” desakku.
“Kami benar-benar tidak melunasinya. Kami memang berniat melunasinya tapi sudah terlambat. Sudah ada yang mendahului kami. Kukira kalian sendiri yang telah melunasinya. Kami berkata yang sebenarnya,” terang Madame Nahed.
“Semoga Allah membalas dia dengan pahala yang tiada hentinya,” lirihku mendoakan orang yang telah membayar seluruh biaya perawatanku.
* * *
Hari itu kami pulang ke Hadayek Helwan. Selama perjalanan Madame Nahed memberi tahu sakit apa aku sebenarnya.
“Dokter Ramzi mengatakan kau terkena Heat Stroke dan Meningitis sekaligus. Tapi sekarang sudah sembuh.”
Aku sudah tahu heat stroke itu apa. Madame Nahed pernah menerangkannya. Tapi meningitis, aku belum tahu jenis penyakit apa itu. “Apa itu meningitis, Madame?”
“Meningitis, adalah penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan oleh kuman meningokoccal. Kuman penyakit ini cepat menular pada suhu tinggi atau rendah. Cara penularan penyakit Meningitis Meningokoccal adalah melalui kontak langsung, terkena percikan air ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan dari tenggorokan penderita penyakit Meningitis Meningokoccal. Tanda-tanda orang yang terkena meningitis adalah panas mendadak, sakit kepala luar biasa, kemerahan di kulit dan kaku kuduk. Tapi kau tidak usah kuatir. Kau sudah sembuh dan terbebas dari kuman meningokoccal. Dokter Ramzi mengatakan begitu. Kau sudah diterapi dengan pengobatan propilaksis memakai cyproflovacin terbaik. Yang sekarang harus kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu. Jangan keluar rumah dulu. Jaga kondisi tubuh supaya tetap segar. Istirahat yang cukup 6-8 jam sehari semalam. Jangan menantang panas. Minum yang cukup. Jangan sekali-kali minum dari kran air minum umum di pinggir jalan seperti orang-orang, sebab kebersihannya kurang. Gelasnya cuma satu untuk minum bergantian. Sangat riskan terjadi penularan kuman. Banyak makan buah-buahan segar seperti anggur, jeruk, apel, mangga, semangka, dan lain sebagainya.” Madame Nahed memberi penjelasan yang cukup dan sangat berguna bagi diriku.
* * *
Sejak pulang dari rumah sakit, aku merubah peta hidup yang telah kurancang satu bulan ke depan. Aku lebih banyak di rumah. Kegiatan menerjemah sementara aku tinggal dulu. Waktuku kuhabiskan untuk buku-buku yang berkaitan dengan materi penulisan tesis. Syaikh Utsman memberiku izin tidak ikut mengaji sampai musim panas benar-benar reda.
Aku masih penasaran siapa yang melunasi biaya rumah sakit itu. Aku dan teman-teman meraba-raba beberapa kemungkinan.
Saiful menduga yang membayar Syaikh Utsman, bisa murni dari saku beliau bisa juga beliau menyalurkan zakat mal para dermawan. Beliau adalah tokoh yang memiliki banyak koneksi dan akses.
Sedangkan Hamdi berpendapat yang melunasi mungkin Syaikh Ahmad. Karena beliau dan isterinya dikenal kaya, dermawan, dan suka menolong orang. Rudi lain lagi, dia menduga yang melunasi adalah pihak KBRI. Mungkin diam-diam Pak Atase Pendidikan mengucurkan dana dari anggaran kemasyarakatan.
Mishbah tidak berpendapat apa-apa, tapi dia berkomentar yang paling tidak mungkin adalah pendapat Rudi. Bagaimana mungkin Atase Pendidikan mengeluarkan dana untuk biaya seorang mahasiswa yang sakit sedangkan diminta dana untuk pelatihan ekonomi Islam saja seretnya bukan main. Itu alasan Mishbah yang sedikit kecewa dengan KBRI.
Entahlah siapa sebenarnya dia yang berhati putih itu. Mata hatiku berkata, yang membayar bukan yang disebut teman-teman itu. Tapi orang lain. Dan orang lain itu adalah orang yang berhati ikhlas, mengenalku, sangat perhatian padaku, dan aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak bisa menduga sebuah nama. Aku hanya berdoa, agar suatu saat nanti Allah membuka rahasia siapa malaikat itu sebenarnya. Aku berharap bisa membalas kebaikannya.
0 komentar:
Posting Komentar