“Aisha, berapa hari kita akan tinggal di flat mewah ini, dan setelah itu kita akan tinggal di mana?” tanyaku pada Aisha setelah shalat Dhuha. Dia belum memberi tahu rumah yang disewa untuk hidup berdua.
“Menurutmu, flat di pinggir Nil seperti ini nyaman apa tidak?” Aisha malah balik bertanya.
“Nyaman.”
“Aman tidak?
“Aman.”
“Kondusif tidak untuk belajar, menulis atau menerjemah?”
“Sangat kondusif.”
“Kalau begitu aku ingin tinggal di flat ini selama ada di Cairo, Sayang.”
Mendengar jawaban Aisha itu aku bagaikan disambar geledek. Kaget bukan main. Dari mana aku akan mendapatkan biaya untuk menyewa flat yang sangat mewah ini. Meskipun aku baru melihat ruang tamu, kamar utama, balkon dapur dan kamar mandi dan belum melihat kamar-kamar yang lain tapi flat ini sangat mewah. Kamar utamanya saja yang kini jadi kamar pengantin tak kalah mewahnya dengan kamar Sheraton Hotel yang pernah kulihat saat menemui seorang anggota DPR yang sedang melakukan lawatan di Cairo. Ruang tamunya lebih mewah dari ruang tamu rumah Bapak Atdikbud. Berapa sewanya perbulan? Rumah Pak Atdikbud saja yang letaknya di Dokki harga sewanya katanta tak kurang dari enam ribu pound perbulan. Dan flat mewah ini yang terletak di pinggir sungai Nil bisa tiga kali lipat mahalnya. Delapan belas ribu pound atau sekitar lima ribu dollar perbulan. Bahkan bisa lebih. Itu adalah honor menerjemah mati-matian selama dua tahun full. Tiba-tiba aku merasa sangat malang. Aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Aisha. Aku sangat sedih. Air mataku meleleh.
“Kenapa kau menangis Sayang?”
Aku menjelaskan semuanya pada Aisha yang bergolak dalam hatiku. Aku sangat mencintainya. Tapi aku tidak akan mampu menuruti keinginannya. Kujelaskan kembali siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku. Aisha malah menangis.
“Suamiku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih. Kalau sampai aku meminta sesuatu yang di luar kemampuanmu. Alangkah celakanya diriku. Suamiku, kita akan tinggal di sini tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun kecuali biaya listrik, gas, air, keamanan, dan kebersihan. Hanya itu yang akan kita keluarkan perbulan. Tidak lebih?”
“Maksudmu kita tinggal di sini gratis?”
Aisha menganggguk.
“Aku tak bisa kita tinggal atas belas kasih orang lain Aisha.”
“Apakah bagimu aku orang lain suamiku?”
“Jadi kau yang membayar sewanya Aisha. Tidak bisa Aisha, itu akan sangat menyiksa diriku?”
“Bukan aku yang membayarnya suamiku.”
“Lantas siapa?”
“Tak ada yang membayarnya.”
“Itu namanya gratis, dan aku tidak mau kita tinggal di rumah orang lain gratis.”
“Meskipun rumah itu rumah milik isterimu, dan isterimu adalah milikmu?”
“Apa maksudmu Aisha, aku jadi bingung.”
Aisha bangkit dari sajadah dan menarik lenganku. Dia membawaku memasuki kamar di samping kamar utama. Lihatlah isi kamar ini. Ini adalah perpustakaan dan ruang kerjamu. Aku melihat kamar dengan kitab-kitab dan buku-buku yang tersusun rapi. Kitab-kitab itu aku mengenalnya. Itu kitab-kitabku. Juga ada komputer di dekat jendela. Itu komputer bututku. Aku mendekati jendela, menyibak gordennya dan melongok. Panorama sungai Nil di waktu dhuha sangat indahnya.
“Di sinilah insya Allah kau akan menulis tesismu, menerjemah dan menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat. Dan aku akan menjadi pendampingmu siang malam. Suamiku, flat ini dibeli oleh ibuku dua tahun sebelum beliau meninggal. Ketika beliau diminta mengajar di Fakultas Kedokteran Cairo University selama tiga semester. Waktu itu aku baru berumur sebelas tahun. Selama enam bulan kami tinggal di rumah ini. Dan kamar yang kita jadikan perpustakaan ini adalah kamar tidurku waktu itu. Setelah kami kembali ke Jerman, rumah ini disewakan kepada home staff Kedutaan Jerman. Yang terakhir menyewa adalah Mr. Edward Minnich, Atase Perdagangan. Apartemen ini memang dihuni oleh orang-orang penting. Tepat di bawah kita adalah pejabat kedutaan Argentina. Di atas kita sutradara terkemuka Mesir. Di samping kita, flat nomor 20, pemilik Wadi Nile Travel.”
Aku baru mengerti. Dan aku tidak tahu apa yang kurasakan dalam hati. Bagaimana gegernya teman-teman mahasiswa nanti mengetahui di mana aku tinggal.
“Berapa harga sewa flat ini, Sayang?”
“Mr. Minnich menyewa dengan harga sembilan ribu dollar perbulan.”
“Ha? Sembilan ribu dollar perbulan?” Aku kaget mendengar angka nominal itu.
“Ya. Sembilan ribu dollar perbulan. Dan itu termasuk murah. Sebab pasaran harganya semestinya sepuluh ribu dollar ke atas. Ini karena kami sama-sama dari Jerman jadi sedikit di bawah standar.”
“Aisha, isteriku yang kucintai, harga sewa flat ini begitu tinggi. Apa tidak sebaiknya kita sewakan saja. Lalu kita menyewa flat di Nasr City yang lebih murah. Dengan seribu dollar saja, kita sudah bisa menyewa flat yang tak kalah mewahnya di kawasan Abbas El-Akkad. Hanya saja di sana kita tidak bisa melihat panorama sungai Nil. Tapi kenyamanan dan ketenangannya tak jauh berbeda. Sisanya bisa kita gunakan untuk bermacam amal di jalan Allah,” ucapku sambil memandang ke arah sungai Nil. Kurasakan Aisha memelukku dari belakang. Dagunya ia letakkan di pundakku. Tingginya memang hampir sama denganku. Aku hanya lebih tinggi tiga senti darinya.
“Sudah kuduga. Kau akan mengatakan demikian. Suamiku, seandainya bukan ibuku yang membeli flat ini dan seandainya tidak ada kenangan yang indah dalam flat ini, tentu sebelum kau sarankan aku sudah melakukannya. Aku sangat mencintai ibu dan setelah rumah di Jerman itu, flat ini adalah tempat kedua yang paling indah dalam kenanganku bersama ibu. Aku ingin kita berdua tinggal di sini selama di Cairo. Dan flat ini milik kita, kita lebih tenang daripada menyewa. Kau tahu sifat orang Mesir ‘kan? Tidak semuanya baik. Tidak semua tuan rumah baik. Aku tidak mau membuang energi dan ketenangan karena masalah sepele dengan tuan rumah yang tidak baik. Kau tahu teman paman Eqbal ada yang diusir tuan rumahnya tengah malam musim dingin, tanpa sebab yang jelas. Aku tak mau itu terjadi pada kita. Kalau kita menemukan tuan rumah yang baik alhamdulillah, kalau kebetulan menemukan tuan rumah yang suka rewel, tentu sangat tidak enak. Tapi kau adalah imamku, suamiku. Jika kau tetap memutuskan tidak tinggal di flat ini aku akan menurutimu. Kaulah yang harus memutuskan apa yang menurutmu terbaik untuk hidup kita berdua, dan untuk anak-anak kita seandainya kita punya anak. Sebagai isteri aku telah memberikan masukan. Aku yakin kau akan memutuskan yang terbaik.” Aisha lalu memelukku erat-erat.
“Nanti kita istikharah,” jawabku lirih.
Aisha lalu membawaku melihat-lihat seluruh sisi rumah. Sebuah rumah yang mewah dan sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ruang tamu yang luas dengan shofa khusus didatangkan dari Perancis. Dua balkon. Ruang santai. Satu kamar utama dengan kamar mandi di dalamnya. Dua kamar mandi, di dekat ruang tamu dan dekat dapur. Dan tiga kamar ukuran sedang. Yang satu telah disulap Aisha menjadi ruang kerja dan perpustakaan. Kamar paling dekat dengan ruang tamu telah dipersiapkan oleh Aisha seandainya ada keluarga, atau teman yang ingin menginap. Aisha lalu kembali mengajakku ke perpustakaan dan mengajakku duduk di lantai yang dialasi karpet tebal. Ia duduk bersila di hadapanku.
“Suamiku, kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita akan mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu. Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku cita-citamu. Senangmu senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku. Benciku bencimu. Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku. Kelebihanku kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu. Hidupmu hidupku. Hidupku hidupmu.”
Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataannya itu.
“Suamiku, padaku ada dua ATM. Mohon Kau pilihlah satu!” Aisha meletakkan dua kartu ATM di depanku. Aku ragu.
“Suamiku, kalau kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku dan memandang diriku adalah milikmu maka ambillah jangan ragu!”
Aku tak bisa tahan menatap sorot matanya yang teduh. Dengan mengucapkan basmalah dalam hati aku mengambil yang paling dekat.
“Terima kasih Suamiku, kau tidak menganggap diriku orang lain. Aku akan menjelas semua hal berkaitan dengan ATM itu dan apa yang aku miliki saat ini. Aku ingin kau yang mengaturnya sepenuhnya. Sebab kau adalah imamku dan aku sangat percaya padamu. Suamiku, ATM yang kau pilih sekarang berisi dana 3 juta empat ratus tiga puluh ribu dollar!”
Aku tersentak mendengarnya.
“Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan Allah adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya yaitu ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh masing-masing memilih perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan susu karena dia paling suka minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena dia orang yang hobinya melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan tekstil.
Kakek orang yang bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau tidak memberikan masing-masing perusahaan itu secara individual penuh. Beliau ingin ketiga anaknya dan keturunannya masih erat rasa persaudaraan dan saling memilikinya. Maka beliau memberikan dengan sistem kepemilikan saham. Pabrik Susu beliau berikan kepada bibi Sarah dengan kepemilikan saham sebesar 60 persen. Selebihnya paman Akbar diberi jatah kepemilikan saham 20 persen, juga ibu. Begitu juga travel, 60 persen milik paman Akbar, yang 40 persen milik ibu dan bibi. Juga perusahaan tekstil 60 persen milik ibu yang 40 persen milik paman dan bibi. Tujuan kakek mengatur seperti itu adalah agar semuanya tetap masih merasa saling memiliki. Juga biar rasa solidaritasnya tetap ada. Kakek berharap semua anaknya akan tetap hidup layak. Seandainya ada salah satu perusahaan yang bangkrut atau gulung tikar maka pemiliknya masih memiliki masukan dari dua perusahaan lain.
Sekarang semua perusahaan dibawah kontrol paman Akbar. Beliau sosok yang berbakat dan profesional seperti kakek. Setiap bulan laba bersih perusahaan diaudit. Maksudnya bersih memang benar-benar bersih setelah dipotong zakat dan pajak. Sepuluh persennya diberikan kepada para pemilik saham. Dan sembilan puluh persennya dikembalikan ke perusahaan untuk diputar lagi. Sepuluh persen dari laba perusahaan itu dibagikan pada pemilik saham sesuai dengan besarnya saham yang dia miliki. Bulan lalu dari pabrik tekstil masuk nominal sebesar 60.000 dollar. Berarti laba bersih perusahaan bulan itu 1 juta dollar. Sepuluh persennya 100.000 dollar dibagi tiga. 60 persen untuk diriku sebagai pengganti ibu, 20 persen paman Akbar dan 20 persen bibi Sarah. Dari perusahaan travel bulan lalu masuk dana 57 ribu dollar, padahal jatah kita hanya dua puluh persen dari sepuluh persen laba perusahaan atau dua persen saja dari laba perusahaan. Dan dari perusahaan susu masuk 78 ribu dollar. Perusahaan travel dan susu memang sudah sangat maju. Perusahaan travel malah sudah merambah perhotelah dan perusahaan susu sudah merambah produksi bahan makanan. Rencananya tahun ini perusahaan tekstik akan mencoba melebarkan sayap dengan mendirikan anak perusahaan di Malaysia. Jadi bulan lalu masuk dana 195 ribu dollar dari Turki ke ATM itu. Dan kira-kira tiap bulan akan masuk dana sebesar itu. Bisa lebih bisa kurang. Bagi orang dunia ketiga, itu jumlah yang sangat besar. Tapi bagi pemilik perusahaan raksasa di negara-negara maju itu jumlah yang sangat kecil sekali.
Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada ditanganmu itu. ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman. Sekarang telah terisi dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di Turki. Tiap bulan Cuma sepuluh persen dari laba bersih perusahaan yang masuk ke pemilik perusahaan. Dan yang ini tidak akan kita otak-atik dulu sampai nanti ketika kita tinggal di Indonesia. Kita akan menggunakannya sebaik mungkin bersama-sama. Jadi aku tidak akan mengutik-utik ATM yang ada di tanganku. Lapar kenyangku adalah atas kebijakanmu. Kaulah yang menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang menentukan besarnya dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah imamku.”
Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat merinding dan bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira sebesar 30 milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.
“Kenapa mukamu jadi berubah warna suamiku? Apakah aku melakukan sesuatu yang menyinggungmu?” tanya Aisha.
“Tidak Aisha. Aku tiba-tiba memikul beban amanah sedemikian beratnya, yang tidak pernah aku bayangkan. Dirimu adalah amanah bagiku. Dan apa yang kau miliki yang kau letakkan di tanganku adalah amanah yang sangat berat bagiku. Aku tak tahu apakah bisa memikul amanah seberat ini?”
“Aku percaya padamu Suamiku.”
Bahwa aku suatu saat akan menjadi imam bagi isteriku dan kelak anak-anakku adalah hal yang sudah aku bayangkan. Aku akan jadi suami seorang muslimah Turki juga telah aku bayangkan setelah bertemu Aisha di rumah Syaikh Utsman dan aku sudah membayangkan bagaimana suasana rumah tangga nanti. Sederhana seperti teman-teman Indonesia. Namun aku akan menjadi imam dan penentu jalan hidup seorang jet set shalihah pemilik perusahaan di Turki dan Jerman yang mewakafkan diri dan hartanya di jalan Allah tidak pernah terbayangkan sama sekali.
Aku merasa ilmu, iman dan pengalamanku belum cukup untuk hidup mendampingi seorang Aisha yang kini aku tahu sebenarnya siapa dia. Aku harus meminta saran, nasihat dan pertimbangan pada orang-orang yang lebih kuat jiwanya dan lebih luas cakrawala pandang dan pengalamannya. Aku mengajak Aisha untuk shalat hajat agar Allah memberikan rahmat, taufik dan belas kasihnya sehingga semua amanat dapat ditunaikan dengan baik.
Hari itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Aku minta waktu bertemu beliau aku ingin konsultasi pada beliau secepatnya. Beliau melarang diriku pergi ke Hadayek Helwan. Beliau dan isterinya yang justru akan mendatangi kami.
Sore itu selepas ashar beliau datang. Aisha dan Ummu Aiman, isteri beliau, berbincang di ruang tamu. Sementara beliau kuajak ke perpustakaan, aku ceritakan semua masalahku pada beliau terutama masalah amanat yang dibebankan Aisha.
“Syaikh, aku sangat takut dengan sindiran Allah dalam Al-Qur’an, Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. [101] Aku takut kalau sampai melampaui batas Syaikh,” ucapku pada Syaikh Utsman.
“Akhi, yang melampaui batas adalah mereka yang tidak memiliki rasa takwa dan tidak merasa diawasi oleh Allah. Selama seseorang masih memiliki rasa takut dan diawasi Allah maka, insya Allah, dia tidak akan sampai melampaui batas. Masalah menginfakkan harta yang dalam tuntunan Al-Qur’an kau pasti sudah tahu,” jawab beliau.
Kemudian beliau banyak memberikan nasihat dan saran, terutama yang berkaitan dengan perjalanan hidup dengan seorang isteri. Bahwa dalam bersuami-isteri ada selalu ada dua kemauan, watak, sifat yang terkadang berbeda. Seni mengolah perbedaan menjadi sebuah keharmonisan ibadah itulah yang harus diperhatikan.
Menurut beliau aku tidak perlu pindah dari flat yang telah aku tempati. Karena tidak menyewa dan milik Aisha. Ini sekaligus untuk menyenangkan hati Aisha yang memiliki kenangan indah di flat ini bersama ibunya. Apalagi flat ini terletak di tempat yang sangat tenang dan kondusif untuk menulis tesis. Tak jauh dari flat ini ada perpustakaan IIIT. Hanya dengan berjalan kaki sepuluh menit sudah sampai ke sana. Juga dekat dengan salah satu kampus Universitas Helwan. Masjid juga dekat. Tinggal bersyukur kepada Allah. Beliau juga meminta kepadaku untuk terus menggali semua pengalaman hidup yang telah dijalani Aisha. Agar aku bisa bersikap arif pada Aisha. Beliau meminta kepadaku untuk mengetahui gaya hidupnya sejak kecil. Beliau meminta agar aku bijaksana tidak memaksakan Aisha mengikuti gaya dan standar hidupku yang memang sangat sejak kecil sederhana. Beliau meminta untuk hidup sewajarnya. Zuhud tidak berarti tidak mau menyentuh sama sekali nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt, tapi zuhud adalah mempergunakan nikmat itu untuk ibadah. Tidak selamanya orang yang makan dengan hanya roti kering dan seteguk air lebih baik dari orang yang makan roti cokelat dan segelas susu. Jika dengan makan roti cokelat badan menjadi sehat dan segar, ibadah khusyu dan tenang, bisa bekerja dengan lebih baik dan bersemangat serta merasakan keagungan Allah yang telah memberikan nikmat tentu lebih baik dengan yang makan roti kering tapi lemas dan berkeluh kesah saja kerjanya. Tidak selamanya yang berjalan kaki lebih baik dari yang naik mobil. Jika dengan naik mobil lebih bisa mengefisienkan waktu, ibadah lebih tenang karena tidak capek dan lebih bisa banyak melakukan kegiatan yang bermanfaat tentu sangat baik.
“Jangan terlalu pelit dan jangan terlalu boros. Dua kelakuan itu berakibat penyesalan dan sangat dicela Allah Swt, firman-Nya dalam Al-Qur’an, ‘Dan jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.’ [102]
Beliau lalu memberi tahu hal-hal yang sangat disukai oleh seorang isteri. Beliau menyuruh agar tidak segan-segan mengungkapkan perasaan cinta. Seorang isteri paling suka dipuja dan dicinta. Juga tidak segan mengajak isteri ke toko pakaian dan toko perhiasan. Sering-sering minta pendapat, suatu kehormatan bagi seorang isteri merasa dirinya sangat penting bagi pengambilan keputusan sang suami. Dari kunjungan Syaikh Ahmad aku banyak mendapatkan banyak sekali pelajaran kehidupan yang berarti. Aku merasa lebih siap dengan hidup yang sedang aku jalani. Ada kata-kata beliau yang sangat menyentuh diriku,
“Aku pernah mengalami hal yang sama dengan dirimu. Ummu Aiman adalah puteri tunggal konglomerat di Maadi. Ia menyerahkan kekayaannya sepenuhnya di tanganku. Aku dulu juga bingung, aku pergi ke tempat seorang ulama dan beliau memberikan nasihat seperti apa yang aku nasihatkan padamu. Ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Banyak lelaki yang menjadi kerdil setelah memiliki isteri yang cantik dan kaya raya. Semangat juang dan kerja kerasnya luntur. Tapi kita mempunyai teladan yang mulia yaitu Rasulullah Saw. Isteri beliau, Sayyeda Khadijah, adalah konglomerat Makkah pada zamannya, dan itu tidak membuat beliau kerdil tapi justeru sebaliknya dengan kekayaan isterinya itu beliau menegakkan agama Allah. Maka kau tidak boleh kerdil. Kau harus terus bekerja, menerjemah dan berkarya lebih keras!”
Malamnya aku ajak Aisha berbincang-bincang di perpustakaan sambil mendengarkan dendangan nasyid Rasailul Asywaq [103] yang indah dibawakan anak-anak Mesir. Kami duduk di lantai beralas karpet. Aku bentangkan dua kertas karton berisi rancangan peta hidup yang telah aku buat beberapa bulan yang lalu sebelum menikah. Peta hidup sepuluh tahun ke depan. Dan rancangan satu tahun. Tentunya peta hidup itu harus dirubah. Melihat apa yang aku gelar mata Aisha terbelalak.
“Subhanallah! Bagaimana mungkin kita memiliki kebiasaan yang sama. Ibuku sejak kecil telah mengajarkan hal seperti ini padaku. Dan aku juga memiliki peta dan rancangan seperti ini. Rancangan peta hidup sepuluh tahun ke depan. Rancangan kegiatan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian. Tunggu sebentar ya Sayang!” Aisha beranjak menuju kamar utama. Lalu kembali dengan membawa agenda biru.
“Ini telah peta hidupku sepuluh tahun ke depan. Memang kita harus membuat peta hidup bersama,” kata Aisha gembira.
Kami pun lalu merancang bersama. Dalam rancangan Aisha, awal April kembali ke Munchen untuk menyelesaikan S1. Lalu S2 di Sorbonne University dan S3 di Bonn University. Sementara aku masih harus menulis tesis, kalau lancar baru dua tahun lagi selesai dan langsung S3 di Al Azhar. Harus ada kompromi-kompromi. Jika Aisha transfer S1 ke Mesir, bukan tidak mungkin tapi sangat susah. Proses administrasi universitas-universitas Mesir sangat melelahkan. Jika aku ikut ke Jerman juga bukan tidak mungkin, tapi susah, target selesai master dua tahun lagi bisa molor. Di Jerman tidak ada bahan yang cukup untuk menulis tesis disiplin ilmu tafsir. Harus ada jalan keluar.
Akhirnya kami sepakat melakukan kompromi. Jalan tengahnya adalah Turki. Di Turki semua target bisa dikejar. Rencananya bulan April tahun depan berangkat ke sana. Aisha bisa transfer S1 ke Istanbul University. Prosesnya mudah. Aisha bahkan tidak perlu repot mengurus sendiri. Ia bisa minta tolong seorang temannya di Munchen untuk mengurus berkasnya yang mengirimnya ke alamat pamannya di Istanbul. Jadi Aisha bisa tetap selesai S1 tahun depan dan selama di Turki aku bisa mendapatkan bahan tentang Syaikh Said An-Nursi. Selama di Turki juga akan menambah eratnya persaudaraan dengan keluarga besar di Turki. Setelah selesai S1 Aisha mengalah untuk kembali ke Mesir menemani aku sampai selesai S2. Sebenarnya aku mempersilakan kalau dia mau langsung ke Sorbonne, tapi dia tidak mau berpisah denganku sama sekali. Tapi setelah master aku yang harus mengalah. Aku harus mengikuti Aisha ke Sorbonne. Setelah kupikir tidak masalah S3 di Sorbonne sementara Aisha S2. Toh, Almarhum Syaikh Abdullah Darraz, Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar mengambil S3 nya juga di Sorbonne. Setelah selesai S3 barulah pulang dan merencanakan hidup di Indonesia, Aisha mengalah untuk tidak langsung S3. Bahkan seandainya terpaksa S3 di Indonesia tidak apa-apa. Tapi dia membuat cadangan S3 di Australia yang dekat dengan Indonesia.
Kami lalu merancang agenda setengah tahun ini. Awal bulan depan Aisha minta ke Alexandria, satu minggu saja, masih dalam rangkaian bulan madu. Dia juga minta umrah dan selama bulan puasa sampai hari raya ada di tengah keluarga di Indonesia. Akhirnya sepakat awal Ramadhan pergi umrah, sepuluh hari di tanah suci dan langsung terbang ke Indonesia.
Lalu kami membuat rencana satu bulan ke depan. Lebih banyak di rumah. Aisha membuat jadwal kami bermain cinta. Naik perahu berdua di sungai Nil. Menyaksikan pagelaran musik rakyat Palestina di Opera House. Melihat pertunjukan drama komedi di Ballon Teater. Pergi ke El-Mo’men Restaurant. Ke Masjid Musthofa Mahmud mendengarkan ceramah Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi yang rencananya lima hari lagi akan datang dari Syiria. Aku menambah jadwal talaqqi qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman dan berkunjung ke rumah Syaikh Abdul Ghafur Ja’far. Aisha menekankan: Dan ke Alexandria!
Kami lalu membuat jadwal harian. Kapan baca Al-Qur’an dan tadabbur bersama. Shalat dhuha. Shalat malam. Waktu menerjemah dan waktu yang tepat untuk bercinta. Begitu selesai membuat rancangan peta hidup Aisha berkata,
“Sayang, aku punya puisi indah untukmu dengarkan:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu
Aku langsung menyahut dengan suara lantang seperti Antonius merayu Cleopatra:
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi
Di tepi sungai Nil, hari-hari yang indah kami lalui bersama. Semua serba indah. Dunia terasa milik kami berdua. Kenikmatan demi kenikmatan, kebahagiaan demi kebahagiaan kami reguk bersama. Seperti di surga. Muncul kebiasaan baru Aisha, ia tidak bisa tidur kecuali aku membelai-belai rambutnya dan mengelus-elus ubun kepalanya, seperti seorang ibu menidurkan bayinya. Aku juga semakin banyak tahu watak dan karakter Aisha, tingkahnya kalau merajuk, tidak suka, marah, caranya memuji, hal-hal yang ia sukai dan ia benci, juga pengalaman hidupnya sejak kecil. Suatu kali sebelum tidur Aisha bercerita, “Ibu sering mengajariku agar berdoa dalam sujud saat shalat malam: Ya Allah, letakkanlah dunia di tanganku, jangan di hatiku.”
“Menurutmu, flat di pinggir Nil seperti ini nyaman apa tidak?” Aisha malah balik bertanya.
“Nyaman.”
“Aman tidak?
“Aman.”
“Kondusif tidak untuk belajar, menulis atau menerjemah?”
“Sangat kondusif.”
“Kalau begitu aku ingin tinggal di flat ini selama ada di Cairo, Sayang.”
Mendengar jawaban Aisha itu aku bagaikan disambar geledek. Kaget bukan main. Dari mana aku akan mendapatkan biaya untuk menyewa flat yang sangat mewah ini. Meskipun aku baru melihat ruang tamu, kamar utama, balkon dapur dan kamar mandi dan belum melihat kamar-kamar yang lain tapi flat ini sangat mewah. Kamar utamanya saja yang kini jadi kamar pengantin tak kalah mewahnya dengan kamar Sheraton Hotel yang pernah kulihat saat menemui seorang anggota DPR yang sedang melakukan lawatan di Cairo. Ruang tamunya lebih mewah dari ruang tamu rumah Bapak Atdikbud. Berapa sewanya perbulan? Rumah Pak Atdikbud saja yang letaknya di Dokki harga sewanya katanta tak kurang dari enam ribu pound perbulan. Dan flat mewah ini yang terletak di pinggir sungai Nil bisa tiga kali lipat mahalnya. Delapan belas ribu pound atau sekitar lima ribu dollar perbulan. Bahkan bisa lebih. Itu adalah honor menerjemah mati-matian selama dua tahun full. Tiba-tiba aku merasa sangat malang. Aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Aisha. Aku sangat sedih. Air mataku meleleh.
“Kenapa kau menangis Sayang?”
Aku menjelaskan semuanya pada Aisha yang bergolak dalam hatiku. Aku sangat mencintainya. Tapi aku tidak akan mampu menuruti keinginannya. Kujelaskan kembali siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku. Aisha malah menangis.
“Suamiku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih. Kalau sampai aku meminta sesuatu yang di luar kemampuanmu. Alangkah celakanya diriku. Suamiku, kita akan tinggal di sini tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun kecuali biaya listrik, gas, air, keamanan, dan kebersihan. Hanya itu yang akan kita keluarkan perbulan. Tidak lebih?”
“Maksudmu kita tinggal di sini gratis?”
Aisha menganggguk.
“Aku tak bisa kita tinggal atas belas kasih orang lain Aisha.”
“Apakah bagimu aku orang lain suamiku?”
“Jadi kau yang membayar sewanya Aisha. Tidak bisa Aisha, itu akan sangat menyiksa diriku?”
“Bukan aku yang membayarnya suamiku.”
“Lantas siapa?”
“Tak ada yang membayarnya.”
“Itu namanya gratis, dan aku tidak mau kita tinggal di rumah orang lain gratis.”
“Meskipun rumah itu rumah milik isterimu, dan isterimu adalah milikmu?”
“Apa maksudmu Aisha, aku jadi bingung.”
Aisha bangkit dari sajadah dan menarik lenganku. Dia membawaku memasuki kamar di samping kamar utama. Lihatlah isi kamar ini. Ini adalah perpustakaan dan ruang kerjamu. Aku melihat kamar dengan kitab-kitab dan buku-buku yang tersusun rapi. Kitab-kitab itu aku mengenalnya. Itu kitab-kitabku. Juga ada komputer di dekat jendela. Itu komputer bututku. Aku mendekati jendela, menyibak gordennya dan melongok. Panorama sungai Nil di waktu dhuha sangat indahnya.
“Di sinilah insya Allah kau akan menulis tesismu, menerjemah dan menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat. Dan aku akan menjadi pendampingmu siang malam. Suamiku, flat ini dibeli oleh ibuku dua tahun sebelum beliau meninggal. Ketika beliau diminta mengajar di Fakultas Kedokteran Cairo University selama tiga semester. Waktu itu aku baru berumur sebelas tahun. Selama enam bulan kami tinggal di rumah ini. Dan kamar yang kita jadikan perpustakaan ini adalah kamar tidurku waktu itu. Setelah kami kembali ke Jerman, rumah ini disewakan kepada home staff Kedutaan Jerman. Yang terakhir menyewa adalah Mr. Edward Minnich, Atase Perdagangan. Apartemen ini memang dihuni oleh orang-orang penting. Tepat di bawah kita adalah pejabat kedutaan Argentina. Di atas kita sutradara terkemuka Mesir. Di samping kita, flat nomor 20, pemilik Wadi Nile Travel.”
Aku baru mengerti. Dan aku tidak tahu apa yang kurasakan dalam hati. Bagaimana gegernya teman-teman mahasiswa nanti mengetahui di mana aku tinggal.
“Berapa harga sewa flat ini, Sayang?”
“Mr. Minnich menyewa dengan harga sembilan ribu dollar perbulan.”
“Ha? Sembilan ribu dollar perbulan?” Aku kaget mendengar angka nominal itu.
“Ya. Sembilan ribu dollar perbulan. Dan itu termasuk murah. Sebab pasaran harganya semestinya sepuluh ribu dollar ke atas. Ini karena kami sama-sama dari Jerman jadi sedikit di bawah standar.”
“Aisha, isteriku yang kucintai, harga sewa flat ini begitu tinggi. Apa tidak sebaiknya kita sewakan saja. Lalu kita menyewa flat di Nasr City yang lebih murah. Dengan seribu dollar saja, kita sudah bisa menyewa flat yang tak kalah mewahnya di kawasan Abbas El-Akkad. Hanya saja di sana kita tidak bisa melihat panorama sungai Nil. Tapi kenyamanan dan ketenangannya tak jauh berbeda. Sisanya bisa kita gunakan untuk bermacam amal di jalan Allah,” ucapku sambil memandang ke arah sungai Nil. Kurasakan Aisha memelukku dari belakang. Dagunya ia letakkan di pundakku. Tingginya memang hampir sama denganku. Aku hanya lebih tinggi tiga senti darinya.
“Sudah kuduga. Kau akan mengatakan demikian. Suamiku, seandainya bukan ibuku yang membeli flat ini dan seandainya tidak ada kenangan yang indah dalam flat ini, tentu sebelum kau sarankan aku sudah melakukannya. Aku sangat mencintai ibu dan setelah rumah di Jerman itu, flat ini adalah tempat kedua yang paling indah dalam kenanganku bersama ibu. Aku ingin kita berdua tinggal di sini selama di Cairo. Dan flat ini milik kita, kita lebih tenang daripada menyewa. Kau tahu sifat orang Mesir ‘kan? Tidak semuanya baik. Tidak semua tuan rumah baik. Aku tidak mau membuang energi dan ketenangan karena masalah sepele dengan tuan rumah yang tidak baik. Kau tahu teman paman Eqbal ada yang diusir tuan rumahnya tengah malam musim dingin, tanpa sebab yang jelas. Aku tak mau itu terjadi pada kita. Kalau kita menemukan tuan rumah yang baik alhamdulillah, kalau kebetulan menemukan tuan rumah yang suka rewel, tentu sangat tidak enak. Tapi kau adalah imamku, suamiku. Jika kau tetap memutuskan tidak tinggal di flat ini aku akan menurutimu. Kaulah yang harus memutuskan apa yang menurutmu terbaik untuk hidup kita berdua, dan untuk anak-anak kita seandainya kita punya anak. Sebagai isteri aku telah memberikan masukan. Aku yakin kau akan memutuskan yang terbaik.” Aisha lalu memelukku erat-erat.
“Nanti kita istikharah,” jawabku lirih.
Aisha lalu membawaku melihat-lihat seluruh sisi rumah. Sebuah rumah yang mewah dan sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ruang tamu yang luas dengan shofa khusus didatangkan dari Perancis. Dua balkon. Ruang santai. Satu kamar utama dengan kamar mandi di dalamnya. Dua kamar mandi, di dekat ruang tamu dan dekat dapur. Dan tiga kamar ukuran sedang. Yang satu telah disulap Aisha menjadi ruang kerja dan perpustakaan. Kamar paling dekat dengan ruang tamu telah dipersiapkan oleh Aisha seandainya ada keluarga, atau teman yang ingin menginap. Aisha lalu kembali mengajakku ke perpustakaan dan mengajakku duduk di lantai yang dialasi karpet tebal. Ia duduk bersila di hadapanku.
“Suamiku, kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita akan mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu. Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku cita-citamu. Senangmu senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku. Benciku bencimu. Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku. Kelebihanku kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu. Hidupmu hidupku. Hidupku hidupmu.”
Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataannya itu.
“Suamiku, padaku ada dua ATM. Mohon Kau pilihlah satu!” Aisha meletakkan dua kartu ATM di depanku. Aku ragu.
“Suamiku, kalau kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku dan memandang diriku adalah milikmu maka ambillah jangan ragu!”
Aku tak bisa tahan menatap sorot matanya yang teduh. Dengan mengucapkan basmalah dalam hati aku mengambil yang paling dekat.
“Terima kasih Suamiku, kau tidak menganggap diriku orang lain. Aku akan menjelas semua hal berkaitan dengan ATM itu dan apa yang aku miliki saat ini. Aku ingin kau yang mengaturnya sepenuhnya. Sebab kau adalah imamku dan aku sangat percaya padamu. Suamiku, ATM yang kau pilih sekarang berisi dana 3 juta empat ratus tiga puluh ribu dollar!”
Aku tersentak mendengarnya.
“Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan Allah adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya yaitu ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh masing-masing memilih perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan susu karena dia paling suka minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena dia orang yang hobinya melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan tekstil.
Kakek orang yang bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau tidak memberikan masing-masing perusahaan itu secara individual penuh. Beliau ingin ketiga anaknya dan keturunannya masih erat rasa persaudaraan dan saling memilikinya. Maka beliau memberikan dengan sistem kepemilikan saham. Pabrik Susu beliau berikan kepada bibi Sarah dengan kepemilikan saham sebesar 60 persen. Selebihnya paman Akbar diberi jatah kepemilikan saham 20 persen, juga ibu. Begitu juga travel, 60 persen milik paman Akbar, yang 40 persen milik ibu dan bibi. Juga perusahaan tekstil 60 persen milik ibu yang 40 persen milik paman dan bibi. Tujuan kakek mengatur seperti itu adalah agar semuanya tetap masih merasa saling memiliki. Juga biar rasa solidaritasnya tetap ada. Kakek berharap semua anaknya akan tetap hidup layak. Seandainya ada salah satu perusahaan yang bangkrut atau gulung tikar maka pemiliknya masih memiliki masukan dari dua perusahaan lain.
Sekarang semua perusahaan dibawah kontrol paman Akbar. Beliau sosok yang berbakat dan profesional seperti kakek. Setiap bulan laba bersih perusahaan diaudit. Maksudnya bersih memang benar-benar bersih setelah dipotong zakat dan pajak. Sepuluh persennya diberikan kepada para pemilik saham. Dan sembilan puluh persennya dikembalikan ke perusahaan untuk diputar lagi. Sepuluh persen dari laba perusahaan itu dibagikan pada pemilik saham sesuai dengan besarnya saham yang dia miliki. Bulan lalu dari pabrik tekstil masuk nominal sebesar 60.000 dollar. Berarti laba bersih perusahaan bulan itu 1 juta dollar. Sepuluh persennya 100.000 dollar dibagi tiga. 60 persen untuk diriku sebagai pengganti ibu, 20 persen paman Akbar dan 20 persen bibi Sarah. Dari perusahaan travel bulan lalu masuk dana 57 ribu dollar, padahal jatah kita hanya dua puluh persen dari sepuluh persen laba perusahaan atau dua persen saja dari laba perusahaan. Dan dari perusahaan susu masuk 78 ribu dollar. Perusahaan travel dan susu memang sudah sangat maju. Perusahaan travel malah sudah merambah perhotelah dan perusahaan susu sudah merambah produksi bahan makanan. Rencananya tahun ini perusahaan tekstik akan mencoba melebarkan sayap dengan mendirikan anak perusahaan di Malaysia. Jadi bulan lalu masuk dana 195 ribu dollar dari Turki ke ATM itu. Dan kira-kira tiap bulan akan masuk dana sebesar itu. Bisa lebih bisa kurang. Bagi orang dunia ketiga, itu jumlah yang sangat besar. Tapi bagi pemilik perusahaan raksasa di negara-negara maju itu jumlah yang sangat kecil sekali.
Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada ditanganmu itu. ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman. Sekarang telah terisi dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di Turki. Tiap bulan Cuma sepuluh persen dari laba bersih perusahaan yang masuk ke pemilik perusahaan. Dan yang ini tidak akan kita otak-atik dulu sampai nanti ketika kita tinggal di Indonesia. Kita akan menggunakannya sebaik mungkin bersama-sama. Jadi aku tidak akan mengutik-utik ATM yang ada di tanganku. Lapar kenyangku adalah atas kebijakanmu. Kaulah yang menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang menentukan besarnya dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah imamku.”
Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat merinding dan bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira sebesar 30 milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.
“Kenapa mukamu jadi berubah warna suamiku? Apakah aku melakukan sesuatu yang menyinggungmu?” tanya Aisha.
“Tidak Aisha. Aku tiba-tiba memikul beban amanah sedemikian beratnya, yang tidak pernah aku bayangkan. Dirimu adalah amanah bagiku. Dan apa yang kau miliki yang kau letakkan di tanganku adalah amanah yang sangat berat bagiku. Aku tak tahu apakah bisa memikul amanah seberat ini?”
“Aku percaya padamu Suamiku.”
Bahwa aku suatu saat akan menjadi imam bagi isteriku dan kelak anak-anakku adalah hal yang sudah aku bayangkan. Aku akan jadi suami seorang muslimah Turki juga telah aku bayangkan setelah bertemu Aisha di rumah Syaikh Utsman dan aku sudah membayangkan bagaimana suasana rumah tangga nanti. Sederhana seperti teman-teman Indonesia. Namun aku akan menjadi imam dan penentu jalan hidup seorang jet set shalihah pemilik perusahaan di Turki dan Jerman yang mewakafkan diri dan hartanya di jalan Allah tidak pernah terbayangkan sama sekali.
Aku merasa ilmu, iman dan pengalamanku belum cukup untuk hidup mendampingi seorang Aisha yang kini aku tahu sebenarnya siapa dia. Aku harus meminta saran, nasihat dan pertimbangan pada orang-orang yang lebih kuat jiwanya dan lebih luas cakrawala pandang dan pengalamannya. Aku mengajak Aisha untuk shalat hajat agar Allah memberikan rahmat, taufik dan belas kasihnya sehingga semua amanat dapat ditunaikan dengan baik.
Hari itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Aku minta waktu bertemu beliau aku ingin konsultasi pada beliau secepatnya. Beliau melarang diriku pergi ke Hadayek Helwan. Beliau dan isterinya yang justru akan mendatangi kami.
Sore itu selepas ashar beliau datang. Aisha dan Ummu Aiman, isteri beliau, berbincang di ruang tamu. Sementara beliau kuajak ke perpustakaan, aku ceritakan semua masalahku pada beliau terutama masalah amanat yang dibebankan Aisha.
“Syaikh, aku sangat takut dengan sindiran Allah dalam Al-Qur’an, Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. [101] Aku takut kalau sampai melampaui batas Syaikh,” ucapku pada Syaikh Utsman.
“Akhi, yang melampaui batas adalah mereka yang tidak memiliki rasa takwa dan tidak merasa diawasi oleh Allah. Selama seseorang masih memiliki rasa takut dan diawasi Allah maka, insya Allah, dia tidak akan sampai melampaui batas. Masalah menginfakkan harta yang dalam tuntunan Al-Qur’an kau pasti sudah tahu,” jawab beliau.
Kemudian beliau banyak memberikan nasihat dan saran, terutama yang berkaitan dengan perjalanan hidup dengan seorang isteri. Bahwa dalam bersuami-isteri ada selalu ada dua kemauan, watak, sifat yang terkadang berbeda. Seni mengolah perbedaan menjadi sebuah keharmonisan ibadah itulah yang harus diperhatikan.
Menurut beliau aku tidak perlu pindah dari flat yang telah aku tempati. Karena tidak menyewa dan milik Aisha. Ini sekaligus untuk menyenangkan hati Aisha yang memiliki kenangan indah di flat ini bersama ibunya. Apalagi flat ini terletak di tempat yang sangat tenang dan kondusif untuk menulis tesis. Tak jauh dari flat ini ada perpustakaan IIIT. Hanya dengan berjalan kaki sepuluh menit sudah sampai ke sana. Juga dekat dengan salah satu kampus Universitas Helwan. Masjid juga dekat. Tinggal bersyukur kepada Allah. Beliau juga meminta kepadaku untuk terus menggali semua pengalaman hidup yang telah dijalani Aisha. Agar aku bisa bersikap arif pada Aisha. Beliau meminta kepadaku untuk mengetahui gaya hidupnya sejak kecil. Beliau meminta agar aku bijaksana tidak memaksakan Aisha mengikuti gaya dan standar hidupku yang memang sangat sejak kecil sederhana. Beliau meminta untuk hidup sewajarnya. Zuhud tidak berarti tidak mau menyentuh sama sekali nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt, tapi zuhud adalah mempergunakan nikmat itu untuk ibadah. Tidak selamanya orang yang makan dengan hanya roti kering dan seteguk air lebih baik dari orang yang makan roti cokelat dan segelas susu. Jika dengan makan roti cokelat badan menjadi sehat dan segar, ibadah khusyu dan tenang, bisa bekerja dengan lebih baik dan bersemangat serta merasakan keagungan Allah yang telah memberikan nikmat tentu lebih baik dengan yang makan roti kering tapi lemas dan berkeluh kesah saja kerjanya. Tidak selamanya yang berjalan kaki lebih baik dari yang naik mobil. Jika dengan naik mobil lebih bisa mengefisienkan waktu, ibadah lebih tenang karena tidak capek dan lebih bisa banyak melakukan kegiatan yang bermanfaat tentu sangat baik.
“Jangan terlalu pelit dan jangan terlalu boros. Dua kelakuan itu berakibat penyesalan dan sangat dicela Allah Swt, firman-Nya dalam Al-Qur’an, ‘Dan jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.’ [102]
Beliau lalu memberi tahu hal-hal yang sangat disukai oleh seorang isteri. Beliau menyuruh agar tidak segan-segan mengungkapkan perasaan cinta. Seorang isteri paling suka dipuja dan dicinta. Juga tidak segan mengajak isteri ke toko pakaian dan toko perhiasan. Sering-sering minta pendapat, suatu kehormatan bagi seorang isteri merasa dirinya sangat penting bagi pengambilan keputusan sang suami. Dari kunjungan Syaikh Ahmad aku banyak mendapatkan banyak sekali pelajaran kehidupan yang berarti. Aku merasa lebih siap dengan hidup yang sedang aku jalani. Ada kata-kata beliau yang sangat menyentuh diriku,
“Aku pernah mengalami hal yang sama dengan dirimu. Ummu Aiman adalah puteri tunggal konglomerat di Maadi. Ia menyerahkan kekayaannya sepenuhnya di tanganku. Aku dulu juga bingung, aku pergi ke tempat seorang ulama dan beliau memberikan nasihat seperti apa yang aku nasihatkan padamu. Ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Banyak lelaki yang menjadi kerdil setelah memiliki isteri yang cantik dan kaya raya. Semangat juang dan kerja kerasnya luntur. Tapi kita mempunyai teladan yang mulia yaitu Rasulullah Saw. Isteri beliau, Sayyeda Khadijah, adalah konglomerat Makkah pada zamannya, dan itu tidak membuat beliau kerdil tapi justeru sebaliknya dengan kekayaan isterinya itu beliau menegakkan agama Allah. Maka kau tidak boleh kerdil. Kau harus terus bekerja, menerjemah dan berkarya lebih keras!”
Malamnya aku ajak Aisha berbincang-bincang di perpustakaan sambil mendengarkan dendangan nasyid Rasailul Asywaq [103] yang indah dibawakan anak-anak Mesir. Kami duduk di lantai beralas karpet. Aku bentangkan dua kertas karton berisi rancangan peta hidup yang telah aku buat beberapa bulan yang lalu sebelum menikah. Peta hidup sepuluh tahun ke depan. Dan rancangan satu tahun. Tentunya peta hidup itu harus dirubah. Melihat apa yang aku gelar mata Aisha terbelalak.
“Subhanallah! Bagaimana mungkin kita memiliki kebiasaan yang sama. Ibuku sejak kecil telah mengajarkan hal seperti ini padaku. Dan aku juga memiliki peta dan rancangan seperti ini. Rancangan peta hidup sepuluh tahun ke depan. Rancangan kegiatan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian. Tunggu sebentar ya Sayang!” Aisha beranjak menuju kamar utama. Lalu kembali dengan membawa agenda biru.
“Ini telah peta hidupku sepuluh tahun ke depan. Memang kita harus membuat peta hidup bersama,” kata Aisha gembira.
Kami pun lalu merancang bersama. Dalam rancangan Aisha, awal April kembali ke Munchen untuk menyelesaikan S1. Lalu S2 di Sorbonne University dan S3 di Bonn University. Sementara aku masih harus menulis tesis, kalau lancar baru dua tahun lagi selesai dan langsung S3 di Al Azhar. Harus ada kompromi-kompromi. Jika Aisha transfer S1 ke Mesir, bukan tidak mungkin tapi sangat susah. Proses administrasi universitas-universitas Mesir sangat melelahkan. Jika aku ikut ke Jerman juga bukan tidak mungkin, tapi susah, target selesai master dua tahun lagi bisa molor. Di Jerman tidak ada bahan yang cukup untuk menulis tesis disiplin ilmu tafsir. Harus ada jalan keluar.
Akhirnya kami sepakat melakukan kompromi. Jalan tengahnya adalah Turki. Di Turki semua target bisa dikejar. Rencananya bulan April tahun depan berangkat ke sana. Aisha bisa transfer S1 ke Istanbul University. Prosesnya mudah. Aisha bahkan tidak perlu repot mengurus sendiri. Ia bisa minta tolong seorang temannya di Munchen untuk mengurus berkasnya yang mengirimnya ke alamat pamannya di Istanbul. Jadi Aisha bisa tetap selesai S1 tahun depan dan selama di Turki aku bisa mendapatkan bahan tentang Syaikh Said An-Nursi. Selama di Turki juga akan menambah eratnya persaudaraan dengan keluarga besar di Turki. Setelah selesai S1 Aisha mengalah untuk kembali ke Mesir menemani aku sampai selesai S2. Sebenarnya aku mempersilakan kalau dia mau langsung ke Sorbonne, tapi dia tidak mau berpisah denganku sama sekali. Tapi setelah master aku yang harus mengalah. Aku harus mengikuti Aisha ke Sorbonne. Setelah kupikir tidak masalah S3 di Sorbonne sementara Aisha S2. Toh, Almarhum Syaikh Abdullah Darraz, Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar mengambil S3 nya juga di Sorbonne. Setelah selesai S3 barulah pulang dan merencanakan hidup di Indonesia, Aisha mengalah untuk tidak langsung S3. Bahkan seandainya terpaksa S3 di Indonesia tidak apa-apa. Tapi dia membuat cadangan S3 di Australia yang dekat dengan Indonesia.
Kami lalu merancang agenda setengah tahun ini. Awal bulan depan Aisha minta ke Alexandria, satu minggu saja, masih dalam rangkaian bulan madu. Dia juga minta umrah dan selama bulan puasa sampai hari raya ada di tengah keluarga di Indonesia. Akhirnya sepakat awal Ramadhan pergi umrah, sepuluh hari di tanah suci dan langsung terbang ke Indonesia.
Lalu kami membuat rencana satu bulan ke depan. Lebih banyak di rumah. Aisha membuat jadwal kami bermain cinta. Naik perahu berdua di sungai Nil. Menyaksikan pagelaran musik rakyat Palestina di Opera House. Melihat pertunjukan drama komedi di Ballon Teater. Pergi ke El-Mo’men Restaurant. Ke Masjid Musthofa Mahmud mendengarkan ceramah Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi yang rencananya lima hari lagi akan datang dari Syiria. Aku menambah jadwal talaqqi qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman dan berkunjung ke rumah Syaikh Abdul Ghafur Ja’far. Aisha menekankan: Dan ke Alexandria!
Kami lalu membuat jadwal harian. Kapan baca Al-Qur’an dan tadabbur bersama. Shalat dhuha. Shalat malam. Waktu menerjemah dan waktu yang tepat untuk bercinta. Begitu selesai membuat rancangan peta hidup Aisha berkata,
“Sayang, aku punya puisi indah untukmu dengarkan:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu
Aku langsung menyahut dengan suara lantang seperti Antonius merayu Cleopatra:
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi
Di tepi sungai Nil, hari-hari yang indah kami lalui bersama. Semua serba indah. Dunia terasa milik kami berdua. Kenikmatan demi kenikmatan, kebahagiaan demi kebahagiaan kami reguk bersama. Seperti di surga. Muncul kebiasaan baru Aisha, ia tidak bisa tidur kecuali aku membelai-belai rambutnya dan mengelus-elus ubun kepalanya, seperti seorang ibu menidurkan bayinya. Aku juga semakin banyak tahu watak dan karakter Aisha, tingkahnya kalau merajuk, tidak suka, marah, caranya memuji, hal-hal yang ia sukai dan ia benci, juga pengalaman hidupnya sejak kecil. Suatu kali sebelum tidur Aisha bercerita, “Ibu sering mengajariku agar berdoa dalam sujud saat shalat malam: Ya Allah, letakkanlah dunia di tanganku, jangan di hatiku.”
0 komentar:
Posting Komentar