Selesai pelatihan kami mempersiap segala sesuatu untuk pergi ke Alexandria. Dengan cermat Aisha mendata semua keperluan yang harus dibawa. Termasuk laktopnya. Selama satu minggu di sana ia berencana menulis biografi ibunya. Ia pernah ke Alexandria bersama ibunya. Jadwal di Alexandria telah tersusun baik. Di antaranya adalah pergi ke perpustakaan Universitas Alexandria untuk mencari tambahan referensi dan menemui Syaikh Zakaria Orabi, seorang imam masjid yang menurut keterangan Syaikh Utsman pernah berjumpa dengan Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.
Dengan Nissan Terrano kami sampai di kota Alexandria. Kota kebanggaan rakyat Mesir. Aku tidak hafal betul route kota budaya ini. Setelah bertanya beberapa kali akhirnya kami sampai di San Stefano Hotel. Sebenarnya aku ingin naik bis saja. Tapi Aisha memaksa menggunakan mobil pribadi. Ketika aku sedikit ragu akan keputusannya. Ia meyakinkan diriku dengan berkata:
“Di Jerman aku sering keluar kota dengan mobil pribadi. Aku bahkan pernah menempuh jarak Munchen-Hamburg dengan mobil sendiri. Kau jangan kuatir, insya Allah selamat. Apalagi Cairo-Alexandria cuma 177 km, jalannya pun lebar dan lurus, dengan kecepatan santai tiga-empat jam sampai!”
Karena dia merasa yakin sekali semuanya akan baik-baik saja. Dia juga ingin sekali berkeliling Alexandria dengan mobil sendiri maka aku pun menyetujuinya. Untuk menginap sebenarnya sudah aku tawarkan padanya menginap di rumah khusus tamu milik mahasiswi Malaysia, tapi Aisha tidak mau. Aisha ingin menginap di hotel San Stefano dan di kamar yang ia dan ibunya dulu pernah menginap. Sudah jauh-jauh hari ia pesan kamar itu. Ia ingin bernostalgia sambil menulis biografi ibunya. Itulah untuk pertama kalinya aku menginap di hotel berbintang. Sudah empat kali aku ke Alexandria dan tidak pernah menginap di hotel. Dua kali ikut mukhayyam [106] musim panas yang diadakan oleh Universitas Al Azhar. Dan yang dua kali bersama teman-teman Malaysia dan menginap di rumah khusus tamu milik organisasi mahasiswi Malaysia di Alexandria.
Hotel San Stefano terletak tepat di garis pantai laut Mediterania. Balkon kami kami menghadap ke laut. Malam pertama di San Stefano Aisha berbisik,
“Sayang, Dhab Mashrinya dicoba yuk!”
Aku tersenyum. Aisha selalu berterus terang. Apakah karena dia bukan perempuan Jawa? Tapi keterusterangannya membuat aku senang. Aku teringat perkataan Sayyidina Muhammad Al Baqir, “Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang membuang perisai malu ketika ia membuka baju untuk suaminya, dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi!” Dan Aisha adalah wanita seperti itu.
“Dhab Mashrinya tidak kubawa?”
“Kenapa?”
“Aku takut menjelma jadi kadal.”
Aisha tertawa geli.
Di Alexandria kami melewati hari-hari indah. Tidak terlalu kalah indahnya dengan hari-hari di tepi sungai Nil. Tapi tepi sungai Nil tetaplah lebih terkesan, karena kami menghabiskan malam paling indah sepanjang hayat di sana. Satu minggu telah berlalu, tapi Aisha ingin menambah satu minggu lagi untuk menuntaskan biografi ibunya. Ternyata dengan memandang laut yang indah Aisha merasa pikirannya lebih jernih. Banyak kenangan yang bersama ibunya yang terus berkelabat di kepalanya. Ia sudah menulis tiga ratus halaman dan biografi itu belum juga selesai. Aku merasa tidak ada masalah menambah hari lagi. Sementara dia sibuk dengan biografi ibunya, aku sibuk talaqqi kitab hadits Shahih Bukhari di Masjid Imam Abdul Halim Mahmud yang diajar oleh Syaikh Zainuddin El-Maula.
Suatu malam ada sms masuk ke handphone-ku. Dari Yousef . Kubuka:
“Maria sakit, mama minta agar memberi tahu kamu.”
Aku tersenyum. Madame Nahed masih menganggap aku bagian dari keluarganya. Puterinya sakit langsung memberi kabar. Aku tidak membalas apa-apa. Aku hanya berdoa dalam hati semoga Maria segera sembuh. Dan nanti jika sudah kembali ke Cairo, aku akan mengajak Aisha mengunjungi mereka, sekalian mengunjungi teman-teman seperjuangan di Hadayek Helwan.
Setelah dua minggu di Alexandria, waktu pulang pun tiba. Dari mengaji pada Syaikh Zainuddin aku mendapatkan pengetahuan tentang fiqhul hadits yang sangat berharga. Dari Syaikh Zakaria Orabi aku mendapatkan kisah perjalanan hidup Said An-Nursi, juga beberapa lembar teks khutbah Jum’atnya yang ditulis tangan oleh Syaikh Zakaria. Dan Aisha berhasil menyelesaikan biografi ibunya. Tertulis dalam bahasa Jerman sebanyak 545 halaman satu spaso, Microsoft Word, Times New Roman, font 12. Sehari menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan ke kawasan El-Manshiya yang merupakan pusat kota Alexandria dan disebut juga Alexandria lama. Di El-Manshiya itulah tepatnya kota Alexandria kuno berada. Puing-puing peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat di lihat bekasnya di Graeco-Roman Museum dan Achaeological and Roman Amphitheatre. Kami juga belanja di sana, tak lupa kami membeli dua jaket untuk Hosam dan Magdi, dua penjaga keamanan apartemen kami. Sekadar sebagai hadiah dan pengikat jiwa.
Terakhir kami berziarah ke makam Luqman Al Hakim yang namanya disebut dalam Al-Qur’an dan dijadikan nama surat ketiga puluh satu. Makam Luqman berdampingan dengan makam Nabi Daniyal. Berada di goa bawah tanah masjid Nabi Daniyal, tak jauh dari terminal utama Alexandria. Selama menatap makam Luqman air mataku meleleh teringat nasihat Luqman pada anaknya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). [107] I
Luqman seperti masih hidup dan menasihati diriku dengan suaranya yang penuh wibawa dan mengetarkan jiwa. Jika aku punya anak kelak, aku ingin mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin menasihatinya seperti Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya seperti Luqman bersikap bijaksana pada anaknya. Ya Tuhan, kabulkan.
Dengan Nissan Terrano kami sampai di kota Alexandria. Kota kebanggaan rakyat Mesir. Aku tidak hafal betul route kota budaya ini. Setelah bertanya beberapa kali akhirnya kami sampai di San Stefano Hotel. Sebenarnya aku ingin naik bis saja. Tapi Aisha memaksa menggunakan mobil pribadi. Ketika aku sedikit ragu akan keputusannya. Ia meyakinkan diriku dengan berkata:
“Di Jerman aku sering keluar kota dengan mobil pribadi. Aku bahkan pernah menempuh jarak Munchen-Hamburg dengan mobil sendiri. Kau jangan kuatir, insya Allah selamat. Apalagi Cairo-Alexandria cuma 177 km, jalannya pun lebar dan lurus, dengan kecepatan santai tiga-empat jam sampai!”
Karena dia merasa yakin sekali semuanya akan baik-baik saja. Dia juga ingin sekali berkeliling Alexandria dengan mobil sendiri maka aku pun menyetujuinya. Untuk menginap sebenarnya sudah aku tawarkan padanya menginap di rumah khusus tamu milik mahasiswi Malaysia, tapi Aisha tidak mau. Aisha ingin menginap di hotel San Stefano dan di kamar yang ia dan ibunya dulu pernah menginap. Sudah jauh-jauh hari ia pesan kamar itu. Ia ingin bernostalgia sambil menulis biografi ibunya. Itulah untuk pertama kalinya aku menginap di hotel berbintang. Sudah empat kali aku ke Alexandria dan tidak pernah menginap di hotel. Dua kali ikut mukhayyam [106] musim panas yang diadakan oleh Universitas Al Azhar. Dan yang dua kali bersama teman-teman Malaysia dan menginap di rumah khusus tamu milik organisasi mahasiswi Malaysia di Alexandria.
Hotel San Stefano terletak tepat di garis pantai laut Mediterania. Balkon kami kami menghadap ke laut. Malam pertama di San Stefano Aisha berbisik,
“Sayang, Dhab Mashrinya dicoba yuk!”
Aku tersenyum. Aisha selalu berterus terang. Apakah karena dia bukan perempuan Jawa? Tapi keterusterangannya membuat aku senang. Aku teringat perkataan Sayyidina Muhammad Al Baqir, “Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang membuang perisai malu ketika ia membuka baju untuk suaminya, dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi!” Dan Aisha adalah wanita seperti itu.
“Dhab Mashrinya tidak kubawa?”
“Kenapa?”
“Aku takut menjelma jadi kadal.”
Aisha tertawa geli.
Di Alexandria kami melewati hari-hari indah. Tidak terlalu kalah indahnya dengan hari-hari di tepi sungai Nil. Tapi tepi sungai Nil tetaplah lebih terkesan, karena kami menghabiskan malam paling indah sepanjang hayat di sana. Satu minggu telah berlalu, tapi Aisha ingin menambah satu minggu lagi untuk menuntaskan biografi ibunya. Ternyata dengan memandang laut yang indah Aisha merasa pikirannya lebih jernih. Banyak kenangan yang bersama ibunya yang terus berkelabat di kepalanya. Ia sudah menulis tiga ratus halaman dan biografi itu belum juga selesai. Aku merasa tidak ada masalah menambah hari lagi. Sementara dia sibuk dengan biografi ibunya, aku sibuk talaqqi kitab hadits Shahih Bukhari di Masjid Imam Abdul Halim Mahmud yang diajar oleh Syaikh Zainuddin El-Maula.
Suatu malam ada sms masuk ke handphone-ku. Dari Yousef . Kubuka:
“Maria sakit, mama minta agar memberi tahu kamu.”
Aku tersenyum. Madame Nahed masih menganggap aku bagian dari keluarganya. Puterinya sakit langsung memberi kabar. Aku tidak membalas apa-apa. Aku hanya berdoa dalam hati semoga Maria segera sembuh. Dan nanti jika sudah kembali ke Cairo, aku akan mengajak Aisha mengunjungi mereka, sekalian mengunjungi teman-teman seperjuangan di Hadayek Helwan.
Setelah dua minggu di Alexandria, waktu pulang pun tiba. Dari mengaji pada Syaikh Zainuddin aku mendapatkan pengetahuan tentang fiqhul hadits yang sangat berharga. Dari Syaikh Zakaria Orabi aku mendapatkan kisah perjalanan hidup Said An-Nursi, juga beberapa lembar teks khutbah Jum’atnya yang ditulis tangan oleh Syaikh Zakaria. Dan Aisha berhasil menyelesaikan biografi ibunya. Tertulis dalam bahasa Jerman sebanyak 545 halaman satu spaso, Microsoft Word, Times New Roman, font 12. Sehari menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan ke kawasan El-Manshiya yang merupakan pusat kota Alexandria dan disebut juga Alexandria lama. Di El-Manshiya itulah tepatnya kota Alexandria kuno berada. Puing-puing peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat di lihat bekasnya di Graeco-Roman Museum dan Achaeological and Roman Amphitheatre. Kami juga belanja di sana, tak lupa kami membeli dua jaket untuk Hosam dan Magdi, dua penjaga keamanan apartemen kami. Sekadar sebagai hadiah dan pengikat jiwa.
Terakhir kami berziarah ke makam Luqman Al Hakim yang namanya disebut dalam Al-Qur’an dan dijadikan nama surat ketiga puluh satu. Makam Luqman berdampingan dengan makam Nabi Daniyal. Berada di goa bawah tanah masjid Nabi Daniyal, tak jauh dari terminal utama Alexandria. Selama menatap makam Luqman air mataku meleleh teringat nasihat Luqman pada anaknya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). [107] I
Luqman seperti masih hidup dan menasihati diriku dengan suaranya yang penuh wibawa dan mengetarkan jiwa. Jika aku punya anak kelak, aku ingin mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin menasihatinya seperti Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya seperti Luqman bersikap bijaksana pada anaknya. Ya Tuhan, kabulkan.
0 komentar:
Posting Komentar