:::: MENU ::::

ILMU DUNIA Tidak ada Batasannya, Jangan Lupa ILMU AGAMA

  • www.maralgel.support

  • Youtube chanel Solusi PRIA masa KINI

  • Maral gel Pembesar Kelamin pria No. 1

            “Nona Noura, saya persilakan Anda mengisahkan apa yang menimpa pada diri Anda?” Hakim gemuk dengan rambut hitam bercampur uban mempersilakan Noura yang sudah berdiri dipodium untuk berbicara. Sementara aku berada di tempat terdakwa yang berbentuk seperti kerangkeng. Ratusan mata memandang Noura dengan seksama. Aku melihat orang-orang yang kukenal turut serta menghadiri sidang pertamaku ini. Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan ; Rudi, Saiful, Hamdi dan Mishbah duduk dibagian agak belakang. Beberapa puluh mahasiswa Indonesia, Ketua dan pengurus PPMI, Pengurus Wihdah—termasuk Nurul sang ketua—juga datang. Sekitas aku memandang ke arah Nurul, mata kami bertemu. Ia tak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Pengacaraku duduk bersama Maqdi. Di belakangnya ada Aisha, paman Eqbal, Syaikh Ahmad dan isterinya. Bibi Sarah tidak datang. Keluarga Tuan Boutros juga tidak satu pun yang kelihatan. Di barisan dekat jaksa penuntut banyak sekali orang Mesir. Mungkin mereka keluarga Noura. Beberapa wartawan sibuk merekam dan membidikkan kamera. Aku pasrah pada apa yang akan ditulis mereka. Jika ada ketidakadilan dalam tulisan mereka aku akan menuntutnya kelak di akherat sana.
            “Saya akan menceritakan dengan sejujurnya tragedi yang menimpa diri saya. Tragedi yang menginjak-injak kehormatan saya dan menghancurkan masa depan saya.” Kata Noura dengan terisak. Air matanya meleleh. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Apakah dia akan mengatakan dengan sejujurnya siapa yang mengamili dirinya ataukah justru akan menghabisi diriku dengan sandiwaranya seperti Zulaikha pura-pura menangis dan menjebloskan Yusuf  ke dalam penjara.
            “Pada hari Rabu, 7 Agustus yang lalu saya masih hidup bersama keluarga Bahadur. Hari itu sore hari setelah aku shalat ashar, Bahadur yang saat itu masih saya anggap sebagai ayah memaksaku untuk ikut Mona selepas maghrib ke sebuah Nigh Club mengapung di sungai Nil, tempat di mana Badahur dan Mona bekerja. Bahadur sebagai pukang tukul dan Mona sebagai penari dan wanita penghibur. Saya tidak mau. Bahadur mengancam akan membunuh saya jika sampai jam sembilan malam tidak sampai di sana bersama Mona. Saat itu juga ia menjambak rambut saya kuat-kuat dan menyambuk punggung saya dengan ikat pinggang. Saya tidak tahan, akhirnya saya pura-pura mau. Bahadur lalu berangkat kerja dengan sebuah ancaman saya akan mati jika tidak datang. Saya bertanya pada Mona apa kerja saya di sana. Dia bilang, ‘Seperti pertama aku kerja di sana. Menyerahkan keperawanan pada turis bule dengan imbalan sepuluh ribu pound!’ Jawaban Mona membuat saya merinding. Saya tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu. Saya bertekad lebih baik mati daripada menjual diri. Akhirnya begitu shalat maghrib saya mengurung diri di kamar. Pintu kamar dan jendela saya kunci. Mona berteriak-teriak dan menggedor-gedor tidak saya pedulikan. Mona pun berangkat sendirian. Saya terus di kamar sampai tengah malam. Jam setengah satu ayah pulang bersama Noura dengan kemarahan meluap. Pintu kamarku didobrak dan saya disiksanya habis-habisan lalu diusir dan diseret ke jalan. Ternyata saya tidak dibunuhnya hanya diusir saja. Tapi malam itu saya merasa sangat merana. Saya meratapi nasib saya sambil memeluk tiang lampu di jalan, depan apartemen. Saya meratap sendirian agak lama. Lalu, kira-kira pukul setengah dua datanglah Maria menghibur saya. Ia juga mengajak saya naik dan tidur di kamarnya, saya pun ikut. Di kamar Maria aku mencurahkan semua kesedihanku padanya. Yang tidak kuduga Maria menceritakan sebenarnya yang membuatnya turun menghiburku adalah Fahri, mahasiswa dari Indonesia yang malam itu kebetulan tidak tidur. Sebenarnya Maria takut sekali pada Bahadur. Keluarga Maria juga tidak mau berurusan dengan Bahadur. Maria meminta bagaimana kalau malam itu menginap sementara di rumah Fahri. Saya merasa kediaman Fahri adalah tempat yang aman untuk sementara. Akhirnya tepat pukul tiga Maria mengantarkan aku turun ke tempat Fahri. Fahri sendiri yang masih bangun. Ia membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk ke kamarnya. Maria kembali ke rumahnya. Mulanya Fahri banyak menghibur. Dia lalu merayuku dan membujukku dengan kata-kata Manis. Entah dari mana ia tahu kalau aku mau dijual pada turis bule. Fahri menawari saya untuk kawin dengannya dan akan diajak hidup bahagia di Indonesia. Ia berjanji akan membuat hidupku bahagia. Akan mencurahkan segala kasih sayang dan cintanya padaku. Fahri juga mengungkapkan sebenarnya dia telah lama jatuh cinta pada saya. Fahri mampu memanfaatkan keadaan saya yang sedih, yang selama itu belum pernah merasakan kasih sayang dan cinta. Malam itu saya menangis dalam pelukan Fahri. Saya merasakan Fahri adalah dewa penyelamat. Entah bagaimana prosesnya malam itu saya telah menyerahkan kehormatan saya padanya. Saya terhipnotis oleh manisnya janji yang ia berikan. Ketika masjid melantunkan azan pertama saya tersadar. Saya menangis sejadi-jadinya atas apa yang menimpa diri saya. Saya melihat Fahri sedang tertidur. Saya pun keluar dan kembali ke tempat Maria. Saya menangis Maria bertanya pada saya ada apa. Saya tidak menjawabnya. Saya malu untuk menceritakannya. Pukul tujuh pagi Fahri datang ke tempat Maria. Keluarga Maria minta agar saya meninggalkan rumah mereka sebelum Bahadur bangun. Akhirnya Fahri menyuruh saya untuk menginap di tempat mahasiswi Indonesia bernama Noura. Sebelum berangkat Fahri memberi uang sebanyak dua puluh pound untuk ongkos jalan. Beberapa hari di rumah Nurul saya dijemput Syaikh Ahmad dan isterinya dan diamankan di Tafahna, Zaqaziq. Syaikh Ahmad membantu saya menemukan saya dengan orang tua saya asli yang ternyata bernama Adel dan Yasmin. Beliau berdua dosen di Ain Syams University. Sejak itu saya tinggal bersama mereka. Suatu hari setelah satu minggu tinggal bersama mereka saya muntah-muntah. Mama Yasmin membawa saya ke dokter dan saya ketahuan hamil satu bulan setengah. Mama mendesak untuk mengatakan siapa yang menghamili saya. Saya tidak mau mengatakannya. Ayah mengancam akan mengusir saya jika tidak mengatakan siapa yang menghamili saya. Terpaksa saya jelaskan siapa sebenarnya yang menghamili saya. Tak lain dan tak bukan adalah Fahri Abdullah. Dia manusia berhati serigala pura-pura menolong ternyata menerkam. Saya telah beberapa kali minta pertanggung jawabannya dan menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik. Saya menuntut janjinya mau mengawini saya ternyata ia berkelit. Ia bahkan menuduh saya pelacur. Uang dua puluh pound yang dia berikan itu ternyata dianggap sebagai harga diri saya. Betapa remuk dan hancur hati saya. Dia malah menikah dengan seorang gadis Turki. Dia benar-benar manusia yang sangat busuk hatinya. Saya minta kepada pengadilan untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan terkutuknya!”
            Noura lalu menangis terisak-isak di podium. Orang-orang Mesir yang tidak tahu masalah sesungguhnya terbakar emosinya. Mereka berteriak-teriak minta kepada hakim menggantung diriku. Aku sendiri sangat terpukul mendengar semua yang dikatakan Noura. Aku tidak percaya bahwa yang dipodium itu adalah Noura. Gadis innocent yang sangat pendiam yang dulu sangat aku kasihani. Kini Noura seperti puteri jahat yang siap mencincangku dengan belati beracun yang ia sembunyikan di balik bajunya.
            Aku melihat ke arah orang-orang yang simpati padaku. Wajah Syaikh Ahmad tampak marah. Aisha jatuh pingsan. Tiba-tiba Nurul berteriak lantang dan memaki-maki Noura yang tidak tahu balas budi dan mengarang cerita bohong. Hakim mengetuk palunya berkali-kali meminta semuanya untuk tenang. Dia lalu meminta tanggapanku. Dengan emosi yang kutahan aku menolak tuduhan Noura. Aku jelaskan bahwa Noura sama sekali tidak pernah masuk kamarku. Aku bahkan belum pernah menyentuh kulit Noura. Malam itu Noura bersama Maria sampai pagi. Tiba-tiba  Noura berteriak menganggap diriku yang bohong. Hakim menenangkan Noura. Pihak jaksa mengajukan saksi. Seorang lelaki ceking bernama Gamal. Hakim mempersilakan saksi itu bicara setelah disumpah. Seorang lelaki mengaku melihat aku membukakan pintu dan mengajak Noura masuk rumah jam tiga dini hari, Kamis 8 Agustus 2003.
            Amru pengacaraku mengintrogasi saksi itu. Sang saksi bersikukuh melihat dengan jelas Noura masuk rumahku. Amru bertanya posisinya di mana dan sedang apa dia sampai begitu jelas melihat Noura masuk rumahku. Dia menjawab dia seorang pemburu burung hantu. Hobinya berburu pada waktu malam. Kebetulan ia melintas di apartemen dan di sutuh melihat ada burung hantu. Ia hendak menembaknya dari jarak dekat dengan cara naik ke sutuh melalui tangga. Ketika ia naik itulah dari jarak tiga meter ia melihat Noura masuk flat di lantai tiga.
            Aku heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia berani membuat kesaksian palsu seperti itu. Belum pernah aku mendengar ada seorang yang hobinya sedemikian aneh. Untuk apa burung hanru diburu? Tubuhku tiba-tiba terasa dingin dan gemetaran. Aku yakin keluarga Noura telah menggunakan segala cara untuk menggantung diriku. Yang aku tidak bisa mengerti adalah perubahan diri Noura. Beberapa waktu yang lalu ia menulis surat sangat mencintaiku. Kini tiba-tiba ia ingin membunuhku. Apa dosa dan salahku padanya? Apakah karena aku tidak menanggapi perasaannya dia lalu dendam yang ingin membunuhku? Kenapa dia begitu keji memfitnahku. Kapan sebenarnya dirinya kehilangan kegadisannya sehingga hamil? Dan siapa sebenarnya yang menghamili dirinya? Semua pertanyaan itu bagaikan palu yang menghantam-hantam batok kepalaku. Aku nyaris tak sanggup menegakkan kepalaku. Hakim memutuskan melanjutkan sidang minggu depan. Aku turun dari kerangkeng terdakwa dengan dikawal dua polisi. Orang-orang Mesir mencacimaki diriku dengan kata-kata kotor. Seorang ibu setengah baya bahkan melempar botol air mineral dan mengenai mukaku. Polisi yang mengawalku tidak begitu peduli. Aku dibawa kembali ke penjara. Di dalam penjara aku teringat Aisha yang tadi jatuh pingsan. Aku takut kondisi psikisnya berpengaruh pada janin yang dikandungnya.
* * *
            Sampai di dalam penjara, Profesor Abdul Rauf menanyakan jalannya sidang. Aku ceritakan semuanya dari awal masuk ruang sidang sampai dilempar botol mineral oleh seorang wanita setengah baya saat berjalan meninggalkan ruang sidang. “Profesor, perlakuan wanita setengah baya itu aku maklumi dia tidak tahu masalah sebenarnya. Yang aku heran dan belum bisa kumengerti adalah Noura. Gadis itu pernah menulis surat ucapan terima kasih dan perasaan cinta padaku dengan sedemikian tulusnya. Tapi dipengadilan itu ia menjadi orang yang sama sekali tak kukenal. Ia tampak sangat membenci aku dan ingin sekali membinasakan diriku. Aku juga heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia bisa setega itu memberikan kesaksian palsu untuk membinasakan orang? Apakah dia sudah tidak punya nurani?” Kataku.
             “Noura itu sebenarnya sangat mencintaimu. Karena dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan darimu dia berubah membencimu. Cinta yang berubah jadi kebencian tiada tara itu seringkali terjadi dalam sejarah kehidupan manusia,” jawab Profesor Abdul Rauf.
            “Dan orang seperti Gamal jangan kau herankan keberadaannya di zaman yang telah kehilangan nurani kemanusiaannya seperti sekarang. Uang menjelma menjadi tuhan. Uang adalah segalanya. Demi uang begundal seperti Gamal siap mengerjakan apapun saja,” sahut Haj Rashed.
            “Berbicara tentang kemanusiaan, aku jadi teringat sebuah film sukses yang dibuat oleh Spielberg yaitu ET. Lewat film itu Spielberg ingin menunjukkan bahwa mungkin tempat terbaik untuk untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaan adalah diangkasa, tidak di bumi.” Suara Ismail terdengar parau. Tadi malam ia menjadi bulan-bulanan para algojo penjara.
            “Kau suka menonton film Amerika juga rupanya?” Haj Rashed agak kurang senang.
            “Sebenarnya tidak juga. Aku menonton film itu karena penasaran pada analisa Profesor Akbar S. Ahmad dalam karyanya Postmodernism and Islam. Dan memang seperti itu ironi yang dibangun Spielberg dalam film ET. Nilai-nilai kemanusiaan di bumi semakin punah,”Jawab Ismail.
            “Tapi, insya Allah, selama masih ada yang teguh kukuh mengamalkan Al-Qur’an dan As Sunnah, nilai-nilai kemanusiaan tidak akan hilang dari muka bumi ini!” tukas Professor Abdul Rauf Manshour mantap.
            “Insya Allah,” sahut kami semua hampir kompak.
            Tiba-tiba pintu digedor. “Tahanan nomor 543!” Kali ini sipir bersuara cempreng yang memanggil. Meskipun suaranya cempreng tapi kalau menyiksa para tahanan tak kenal belas kasihan. Menurut cerita Hamada ia pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Si Cempreng itu memasukkan mata ganco ke dalam lubang hidung seorang tahanan yang tangan dan kakinya diikat lalu menarik ganco itu kuat-kuat. Tak ayal hidung tahanan miskin itu sobek tak karuan bentuknya. Tahanan miskin itu sudah lama tiada kabarnya. Mungkin telah mati.
            “Hai, keledai 543 apa kau dungu!? Apa aku perlu menyeretmu dengan ganco?” Si Cempreng kembali mendesis seperti ular.
            “Ya saya!” jawab Marwan santai sambil melangkah ke pintu. Setelah pintu terbuka. Kami mendengar suara: buk! buk!
            “Doakanlah Marwan, semoga dia tidak cedera berat!” Suara Profesor Abdul Rauf membuat hati kami gerimis. Setiap hari selalu ada yang jadi mainan para algojo penjara. Aku bersyukur bahwa setelah kedatangan Magdi, KBRI, dan PPMI siksaan yang kuterima sebagai sarapan pagi semakin ringan.
* * *
             Satu hari menjelang persidangan kedua Syaikh Utsman datang menjenguk bersama Paman Eqbal. Syaikh Utsman banyak memberi siraman jiwa. “Kau harus ikhlas menerima cobaan ini. Kau tidak boleh sedikitpun merasa ragu akan kasih sayang Allah kepadamu. Kau tentu tahu, Allah sangat mencintai Nabi Yahya. Dan Nabi Yahya itu kepalanya dipenggal untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Husein cucu baginda Nabi juga dipenggal kepalanya. Ditancapkan diujung tombak dan diarak di kota Kufah. Mereka tetaplah manusia-manusia mulia meskipun kelihatannya dinistakan dan dihina. Orang yang divonis salah oleh pengadilan dunia belum tentu salah di pengadilan akhirat dan sebaliknya. Dekatkanlah dirimu kepada Allah!”  Kunjungan Syaikh Utsman sangat berarti bagiku. Nasihat beliau bagaikan embun menetes di pagi hari musim semi. Aku semakin mempersiapkan diri untuk menerima apapun yang terjadi.
            Setelah Syaikh Utsman, tanpa kuduga Madame Nahed, dan Yousef menjenguk. Mereka berdua meneteskan air mata melihat keadaanku.
            “Madame, maafkan aku yang tidak sempat menjenguk Maria.”
            “Tak masalah. Sungguh sangat tragis nasibmu, Anakku. Kau menolong dia tapi dia malah membalasnya dengan fitnah yang keji sekali. Aku sudah membaca semuanya di koran. Seluruh koran yang memuat berita persidangan itu tak ada yang membelamu. Andaikan Maria sehat dia pasti akan menulis membelamu. Sayang dia...ah!” Madame Nahed terisak. Aku takut sesuatu telah terjadi pada Maria.
            “Kenapa Maria, Madame?” tanyaku cemas.
            “Sakitnya sangat parah. Empat hari ini dia koma. Hanya kadang-kadang dia seperti sadar, mulutnya berkomat-kamit mengatakan sesuatu. Dan apakah kau tahu apa yang dia katakan, Anakku?” Suara Madame Nadia terbata-bata.
            “Apa Madame?”
            “Dia menyebut-nyebut namamu. Hanya namamu, Anakku. Dia ternyata sangat mencintaimu!”
            Kalimat yang diucapkan Madame Nadia bagaikan guntur yang menyambar kepalaku.”Tak mungkin itu terjadi, Madame!” bantahku.
            Yousef langsung menyahut:
            “Benar Fahri, Maria sangat mencintaimu. Aku telah membaca diary khususnya. Dia menulis semua perasaan cintanya padamu di sana. Dalam diarynya itu aku juga menemukan kwitansi pembayaran semua biaya pengobatanmu. Maria diam-diam mengambil tabungannya dan membayar pengobatanmu tanpa ada satupun dari kami yang tahu. Dia sangat mencintaimu. Sayang diarynya tidak aku bawa. Nanti akan aku bawa kemari agar kau bisa membacanya sendiri.”
            Keterangan Yousef membuat hatiku mau runtuh. Air mataku tanpa terasa meleleh. Baru aku tahu bahwa malaikat itu adalah Maria.
            “Kenapa dia tidak mengungkapkan isi hatinya padaku?” lirihku.
            “Dia malu. Dia menunggu saat yang tepat untuk membangun keberaniannya tapi terlambat. Ketika tahu kau telah menikah dengan Aisha yang baru beberapa bulan kenal denganmu dia sangat terpukul. Dia sangat menyesal. Padahal dirinya telah mengenalmu jauh lebih lama dan lebih dalam dari Aisha. Itu ia tulis setelah pulang dari Hurgada dan tahu kabar pernikahanmu. Aku baru tahu kenapa dia selalu murung dan tidak bersemangat hidup. Maria menulis dibaris terakhir, when some one is in love he cannot think of anything else. Bila seseorang dimabuk asmara, dia tak bisa memikirkan hal yang lain. Dia tidak bisa lepas untuk memikirkan dirimu, memikirkan cintanya, sampai akhirnya jatuh sakit.” Yousef meneteskan air mata.
            “Anakku, aku takut dia akan mati..hiks..hiks!” Madame Nahed terisak-isak.
            Aku jadi melupakan nasibku sendiri. Mataku basah melihat kesedihan Madame Nahed. Dan Maria, oh, kenapa semua ini bisa terjadi!?
            “Oh, andaikan aku bisa membantu. Aku merasa menjadi manusia paling tiada berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri sekarang dibayang-bayangi vonis hukuman gantung. Oh apa yang bisa aku lakukan?” Ucapku sedih.
            Yousef mengeluarkan tape kecil dari jaketnya dan berkata, “Kata dokter, Maria harus dirangsang dengan suara atau sentuhan dari orang-orang yang dicintainya. Dia sepertinya telah kehilangan gairah untuk hidup. Suara orang yang dicintainya harus mendorongnya untuk hidup, harus memberikan harapan-harapan yang indah baginya. Fahri tolonglah, bicaralah pada Maria apa saja. Ini salah satu usaha menolong dia. Nanti akan kami perdengarkan suaramu di telinganya.”
            “Iya anakku tolonglah! Maria sangat mencintaimu dan merindukan suaramu,” desak Madame Nahed.
            Demi sebuah nyawa aku memenuhi permintaan Yousef dan Madame Nahed.   Dengan suara kupaksakan kebiasa-biasanya, aku berbicara apa saja pada Maria. Terkadang aku berusaha tertawa. Atau mengingatkan sesuatu yang kira-kira berkesan baginya. Hanya satu yang tidak kuucapkan di sana yaitu kalimat aku mencintaimu. Tak mungkin, karena kalimat itu hanya berhak untuk Aisha seorang. Aku berharap suaraku berguna untuk membantu menyembuhkan Maria. Bahwa di dalam penjara sekali pun aku bisa melakukan sesuatu untuk orang lain. Namun begitu mengingat kata-kata Madame Nahed dan Yousef bahwa Maria sakit karena mencintaiku aku jadi sedih sekali. Aku jadi tidak mengerti apa itu cinta sebenarnya? Yang kutahu cinta adalah apa yang terjadi antara diriku dengan Aisha. Itu saja. Tapi apa yang dirasakan Nurul. Yang dirasakan Noura dan yang dirasakan Maria aku tidak tahu. Apakah itu cinta? Ah cinta. Semacam duka. Mengiris jiwa.
* * *
            Persidangan kedua sangat menegangkan. Tuan Boutros hadir memberikan kesaksiannya. Beliau membantah keterangan Noura yang mengatakan malam itu masuk di kamarku. “Jam lima pagi ketika saya bangun, saya menemukan Noura bersama Maria di kamarnya. Dan Maria bercerita Noura sejak tengah malam ada dikamarnya.”
            Penuntut bertanya pada Tuan Boutros, “Apakah antara jam 2 sampai jam 5 anda tidak tidur, jadi anda tahu persis Noura selalu bersama Maria, misalnya mendengar suara mereka dalam rentang waktu itu?”
            Tuan Boutros dengan jujur menjawab, “Tidak saya sedang tidur. Bahkan jeritan Noura dipukuk Bahadur juga tidak saya dengar. Saya terlelap dan bangun setengah lima.”
            Noura diminta bicara. “Maria berkata tidak benar kalau aku bersamanya terus. Yang benar pukul tiga Maria mengantarku ke tempat Fahri yang hanya berada di bawahnya. Di kamar Fahri pemerkosaan atas diriku terjadi. Dan ketika azan pertama berkumandang, aku kembali ke tempat Maria. Saat itu seluruh isi rumah Maria masih tidur, termasuk Tuan Boutros, kecuali Maria.” Kata Noura.
            Teman-teman satu rumah yang pada malam kejadian itu ada di rumah ikut memberikan kesaksian. Mereka semua menolak tuduhan Noura. Tapi mereka juga jujur menjawab ketika ditanya sedang apa antara jam tiga sampai azan pertama? Jawabnya tidur. Hamdi masih berusaha membela, “Saya ini termasuk manusia yang sangat sensitif. Seringkali dalam keadaan tidur jika pintu dibuka saya terbangun. Jika Noura masuk rumah pasti saya terbangun. Saya tidak terbangun malam itu?”
            Penuntut malah tersenyum dan berkata, “Menurut cerita Fahri kalian malam itu berpesta hingga kenyang, benarkah?”
            “Benar!” jawab Hamdi.
            “Itulah salah satu penyebab kenapa kau tidak terbangun ketika Noura masuk. Karena kau terlalu kenyang. Dan itu sudah sangat wajar terjadi!”
            Nurul memberikan kesaksian dengan suara terbata-bata menahan emosi. Ia menceritakan cerita yang dikisahkan sendiri oleh Noura kepadanya ketika Noura menginap beberapa hari di rumahnya. Cerita yang sangat berbeda dengan yang dikatakan Noura di sidang pengadilan. “Saya yakin Noura saat ini sedang berbohong. Apa yang dia katakan di pengadilan ini dusta. Dia bercerita malam itu di kamar Maria dan baru bertemu Fahri pukul tujuh pagi. Dan uang dua puluh pound itu diberikan kepadanya bukan sebagai harga atas kegadisannya. Itu fitnah. Fahri tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu. Dia menyentuh tangan perempuan saja tidak mau.”
            Noura menolak kesaksian Nurul dan berkata dengan tenang, “Memang seperti itu yang aku kisahkan pada Nurul. Saat itu aku tidak mungkin dengan jujur menceritakan apa yang terjadi pada diriku di kamar Fahri. Aku tidak mungkin menceritakan aib. Aib diriku dan aib orang yang akan jadi suamiku, karena dia memang berjanji akan menikahiku. Sebenarnya yang terjadi adalah seperti apa yang aku ceritakan. Saat itu aku juga mengira uang dua puluh pound itu ikhlas diberikan oleh Fahri sebagai ongkos pergi ke Masakin Utsman. Aku tidak mengira sama sekali saat itu kalau itu adalah sebagai harga akan kegadisanku yang direnggut Fahri. Aku tahu kebusukkannya setelah dia terang-terangan tidak mau menikahiku dan malah mengatakan diriku pelacur sebab telah ia bayar dengan dua puluh pound saja mau.”
            Di akhir sidang terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Bahadur memberikan kesaksian bahwa dia katanya pernah melihatku beberapa kali menyiuli Noura dari jendela kamarku. “Saat itu aku sebenarnya sangat marah pada penjahat itu. Tapi aku masih menghormatinya sebagai tamu di negeri ini dan aku mengira itu hanyalah iseng anak muda. Apalagi dia kulihat juga rajin ke masjid. Aku tidak menyangka kalau dia sebenarnya serigala. Dan aku yakin dialah yang menodai Noura. Dia harus dihukum yang seberat-beratnya!”
            Hakim lalu bertanya pada pengacaraku apakah masih ada saksi atau bukti untuk membela diriku. Pengacaraku bilang masih. Yaitu kesaksian Syaikh Ahmad dan isterinya, surat yang ditulis Noura untukku, dan Maria. Hakim memutuskan sidang akan dilanjutkan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Itu berarti aku akan menjalani hari raya terberat selama hidup.
            Amru, Magdi dan paman Eqbal mengikutiku sampai ke penjara. Di ruang tamu penjara mereka mangajakku berbicara. Eqbal terus memintaku untuk tabah dan besar hati. Magdi dan Amru menganalisa jalannya sidang yang telah terjadi.
            “Saksi yang kita ajukan adalah orang-orang yang sangat jujur. Mulai dari Tuan Boutros sampai teman-temanmu. Aku salut atas kejujuran itu, meskipun dalam kasus ini kejujuran teman-temanmu tidak membantu. Kalau mereka ada yang berani bohong sedikit saja, misalnya pukul tiga terbangun untuk shalat malam dan mendapati keadaan rumah dalam keadaan sepi seperti biasa tidak ada Noura di kamarmu. Karena kamarmu berdekataan dengan kamar mandi tempat wudhu, dakwaan Noura akan runtuh,” ucap Amru sambil memandang lurus kepadaku.
            “Tapi insya Allah kejujuran itu tetap akan membantu. Setidaknya membantu kekuatan moral kita. Kebersihan nurani kita. Dan semoga dengan kejujuran itu Allah memberikan jalan keluar yang lebih baik,” sahut Eqbal.
            “Dalam sejarah kejahatan selalu dilancarkan dengan segala cara. Dan kebenaran selalu dipertahankan dengan cara-cara yang jantan dan bersih,” imbuh Magdi.
            “Bisa jadi sidang setelah hari raya adalah sidang penentuan. Dan dalam sidang itu kita harus membalik keadaan dan meruntuhkan semua tuduhan dan rekayasa mereka. Senjata kita yang tersisa adalah surat cinta Noura yang disana dia mengungkapkan semua pengakuannya secara jujur dan pengakuan Maria. Yang paling penting sebenarnya adalah kesaksian Maria. Sebab dialah yang paling tahu. Dialah—yang dalam penuturan Noura—mengantarkan dirinya ke tempatmu. Dan dia juga yang membukakan pintu ketika Noura kembali lagi naik. Adapun kesaksian Syaikh Ahmad dan isterinya kekuatannya tak akan berbeda dengan kesaksian Nurul yang memang malam itu tidak tahu apa-apa. Marialah sebenarnya saksi kunci, tapi sayang dia sekarang sedang koma.” jelas Amru.
            “Bagaimana dengan surat Noura itu?” tanya Eqbal.
            “Cukup kuat, jika benar-benar bisa dibuktikan itu tulisan tangannya. Tapi surat itu sekarang ada di mana masih jadi masalah. Oleh Fahri surat itu diberikan kepada Syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad memberikan kepada isterinya. Isterinya memberikan kepada Noura waktu masih di Tafahna. Sekarang sedang dicari di Tafahna, siapa tahu ditinggal oleh Noura di sana. Jika surat itu ternyata dibawa Noura ya kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu mukjizat Maria bisa membaik dan pada sidang setelah hari raya nanti bisa memberikan kesaksian,” jelas Amru.
            Mendengar semua pembicaraan itu aku merasa nasibku benar-benar berada di ujung tanduk. Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan sedemikian tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Aku teringat nasihat Syaikh Utsman agar selalu menjaga keikhlasan menerima takdir Ilahi setelah berusaha sekuat tenaga. Yang divonis salah dalam pengadilan dunia tidak selamanya salah di pengadilan akhirat. Kepala Nabi Yahya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dalam hati aku berdoa, jika aku harus mati di tiang gantungan, maka “Allaahumma amitni alasy syahaadati fi sabilik.Amin.” [111]
            “Apa tidak ada jalan lain untuk membuktikan bahwa yang menghamili Noura bukan Fahri? Bagaimana dengan test DNA? Bukankah Noura menemukan orang tua kandungnya karena test DNA?” ucap Eqbal dengan mata berbinar.
            Amru dan Magdi mengangguk-anggukkan kepala. Aku merasa di dalam dadaku ada cahaya. “Benar test DNA!” lirihku.
            “Ini ide yang sangat menggembirakan. Aku nanti akan mencoba bertanya pada dokter apakah janin yang dikandung Noura bisa diperiksa DNA-nya. Agar ketahuan siapa sebenarnya ayahnya? Jika bukan Fahri yang menghamili tentu DNA janin itu akan berbeda dengan DNA Fahri. Sebentar aku mau mengontak Dokter Fatema Zaki, apakah janin bisa diperiksa DNA-nya.” Kata Amru sambil memenjet handphone-nya dan meletakkan di telinganya. Amru lalu terlibat pembicaraan dengan orang yang ditujunya. Tiba-tiba mukanya agak pucat, ia berkata setengah berteriak, “Apa? Tidak bisa! Menunggu sampai lahir?! Oh, begitu. Ya, terima kasih atas informasinya.”
            “Bagaimana Amru?” tanya Eqbal.
            “Menurut keterangan Dokter Fatema Zaki, janin yang masih berada di dalam kandungan tidak bisa diperiksa DNA-nya. Karena harus pakai sampel jaringan/sel tubuh. Janin tidak bisa diambil jaringan tubuhnya. Yang bisa diambil cuma sampel air ketuban, tidak bisa untuk pemeriksaan DNA. Jadi harus menunggu janin itu dilahirkan baru bisa diperiksa DNA-nya,” jelas Amru yang membuat diriku lemas kembali. Menunggu Noura sampai melahirkan janinnya, bukan waktu yang singkat di dalam penjara buruk seperti ini. Tapi aku tetap merasa lebih berbesar hati bahwa jalan untuk membebaskan diri dari tuduhan dan fitnah itu masih ada.
            “Aku akan membuat surat permohonan kepada pengadilan agar sidang selanjutnya diundur sampai Noura melahirkan bayinya untuk pemeriksaan DNA.” Ujar Amru dengan wajah optimis.
            “Jika pengadilan tidak mengabulkan?” sahut Magdi.
            “Kita lihat nanti. Oh ya Magdi, tolong bagaimana caranya keamanan Maria terjamin. Sebab walau bagaimana pun sebelum test DNA, Maria adalah saksi kunci. Kau tentu tahu maksudku?” kata Amru.
            “Insya Allah,” jawab Magdi pelan.
            Mereka bertiga lalu pamintan. Amru berjanji akan menengok ke penjara lagi jika ada perkembangan.
* * *
            Sampai di dalam sel, sebelum Profesor Abdul Rauf dan teman-teman menanyakan yang terjadi di dalam sidang kedua, aku langsung mengisahkan semuanya. Termasuk pembicaraan berempat dengan Amru, Magdi dan Eqbal di ruang tamu penjara.
            “Bolehkan aku membuat suatu analisa? Siapa tahu ada gunanya,” ujar Profesor Abdul Rauf begitu aku selesai bercerita.
            “Tentu, Profesor,” jawabku senang.
            “Pemohonanmu untuk mengundurkan sidang setelah Noura melahirkan bayinya agar bisa diperiksa DNAnya tidak akan dikabulkan pengadilan. Pengadilan akan tetap berjalan sesuai yang diinginkan hakim. Dan hakim berjalan sesuai yang diinginkan oleh keluarga Noura. Mereka sudah tahu saksi kunci sudah tidak berdaya. Seandainya pun Maria bisa memberikan kesaksian mereka sudah mempersiapkan jurus yang akan mengejutkan. Selama ini yang terjadi, tertuduh yang berada dalam posisi seperti dirimu jarang bisa menang. Apalagi kau orang asing. Mereka juga tahu akan adanya test DNA, maka mereka akan menggunakan cara agar di pengadilan ini kau kalah. Tindakan yang akan kau ambil adalah naik banding, menunggu bayi Noura bisa ditest DNAnya. Begitu kau kalah, maka setelah itu rekayasa yang akan mereka mainkan susah diprediksi. Bisa jadi diam-diam mereka akan menggugurkan kandungan Noura dengan alasan keguguran dan membuangnya entah di mana yang penting tidak bisa ditest DNAnya. Dan kau tidak akan bisa menuntut apa-apa. Atau tidak begitu, tetap membiarkan bayi itu lahir tapi permohonan bandingmu tidak dikabulkan dengan alasan yang seringkali tidak masuk. Atau dikabulkan tapi setelah menunggu sekian tahun, setelah dirimu mengalami penderitaan luar biasa dan sekarat di dalam penjara. Sebab begitu kau diputuskan pengadilan bersalah kau akan diperlakukan sebagai orang bersalah meskipun sedang mengajukan banding. Itu analisaku. Aku tidak ingin menakutimu tapi agar pengacaramu dan pihak kedutaanmu berusaha lebih maksimal untuk membebaskan dirimu dalam pengadilan terakhir nanti.”
            Aku merasa apa yang disampaikan profesor benar. Dalam pengadilan Mesir seringkali terjadi hal-hal yang tidak masuk akal. Adanya saksi seorang lelaki yang hobinya berburu burung hantu adalah suatu yang ganjil. Dan sejak kapan di suthuh apartemen di Hadayek Helwan itu ada burung hantu?
            “Menurut Profesor apa yang harus kami lakukan?” tanyaku dengan hati cemas.
            “Minta pertolongan Tuhan. Dan terus berusaha untuk menang!” ucap Profesor mantap.
“Aku punya sesuatu yang ingin aku katakan, Akhi.” sahut Ismail.
“Boleh.” kataku pelan.
“Mendengar semua kisahmu sejak kau ditangkap sampai sekarang, aku melihat ada satu kekuatan yang mengaturnya. Mintalah kepada Magdi untuk menyelidiki kekuatan backing dibelakang keluarga Noura. Kau masih beruntung karena kasusmu bukan kasus yang oleh pihak keamanan dianggap mengancam kekuasaan seperti Profesor Abdul Rauf. Asal bisa menjinakkan kekuatan di belakang Noura maka jalan pembebasanmu menjadi lebih mudah. Firasatku mengatakan, yang menghamili Noura adalah seseorang yang sangat memalukan untuk disebut, jadi mereka mencari kambing hitam. Dan kambing hitamnya adalah dirimu.Yang aku kuatirkan jika backing Noura adalah orang penting di Keamanan Negara yang memang sangat berkuasa di negara ini.”
“Namun kau jangan kecil hati Fahri, di atas segalanya Allahlah yang menentukan. Daya dan kekuatan manusia tiada berarti apa-apa di hadapan kemahakuasaan Allah. Jika Dia berkehendak apa pun bisa terjadi.” Haj Rashed menghibur. Aku diam saja. Semuanya lalu diam. Ruangan sel bawah tanah yang pengap dan dingin itu dicekam suasana senyap sesaat. Keheningan menebarkan aroma ketakutan yang menguji keimanan. Kini dalam ruangan sempit itu tinggal kami berempat. Marwan sejak diambil sipir bersuara cempreng itu tak ketahuan nasibnya. Apakah dipindahkan ke penjara lain? Ataukah dibebaskan? Atau malah telah menemui kematian. Hamada juga tidak lagi terdengar beritanya sejak dua hari lalu. Yang paling cemas atas nasib Hamada adalah Ismail. Katanya ia bermimpi melihat Hamada berpakaian putih di sebuah tanah yang sangat lapang. Ia kuatir itu adalah pertanda keburukan. Tapi Profesor malah menafsirkan mimpi itu dengan hal yang menyenangkan, tanah lapang adalah kebebasan. Hamada berarti sudah dibebaskan.
* * *
            Hari berikutnya, kira-kira pukul sepuluh pagi, aku dibawa sipir hitam ke kantor. Di sana kepala penjara menyerahkan sepucuk surat. “Ini surat dari Universitas Al Azhar. Selamat!” Kata kepala penjara dengan nada yang sangat sinis. Aku menerima surat itu dengan tangan bergetar. Aku teringat peristiwa tahun 1995 seperti yang diceritakan staf konsuler KBRI. Kubuka amplop surat cokelat buram itu dan kukeluarkan isinya. Lalu kubaca huruf demi huruf. Selesai membaca surat itu aku tak mampu menahan isak tangisku. Usahaku sekian tahun belajar mati-matian seakan sia-sia belaka. “Karena tidak asusila yang Anda lakukan, maka Anda dikeluarkan dari Universitas Al Azhar dan gelar licence yang telah Anda dapat dicabut sejak surat ini dibuat!” Demikian salah satu baris surat dari Universitas Al Azhar itu. Melihat aku sedih dan meneteskan air mata, kepala penjara malah tertawa mengejek. Ia tentu sudah tahu isi surat itu. Aku kembali ke penjara dengan memendam kesedihan tiada tara. Al Azhar yang kucintai itu tidak lagi menganggapku sebagai bagian dari anak muridnya. Alangkah malang nasibku.
            Di dalam sel aku menangis sejadi-jadinya. Aku belum pernah menangis sesedu itu. Profesor Abdul Rauf menghiburku seperti seorang ayah menghibur anaknya. Ia bertanya ada apa? Aku tak kuasa menceritakannya. Aku terus menangis dengan sesak dada yang tiada terkira. Aku teringat semua pengorbanan orang tua. Sawah warisan kakek, harta satu-satunya, dijual demi agar aku bisa kuliah di Al Azhar Mesir. Dan kini semuanya seperti sia-sia. Aku merasa menjadi manusia yang paling tiada gunanya di dunia. Hampir satu jam aku menangis. Profesor Abdul Rauf masih terus menghibur dan membesarkan hatiku. Akhirnya aku ceritakan berita duka itu padanya, dengan isak tangis yang tersisa.
            “Kau percayalah padaku, Al Azhar sebenarnya tidak semudah itu mengeluarkanmu. Di sana masih banyak ulama dan guru besar yang arif bijaksana. Tapi Al Azhar tidak bisa berbuat apa-apa jika mendapat tekanan dari penguasa. Apalagi jika datang dari Amn Daulah [112] . Aku sangat yakin Al Azhar mengeluarkanmu karena mendapat tekanan. Itu sama seperti Universitas El-Menya waktu mengeluarkan diriku dan mencopot gelar guru besarku. Jadi sebenarnya sekarang ini saya bukan seorang profesor lagi, karena gelar guru besarku telah dicabut. Rektor Universitas El-Menya adalah temanku waktu mengambil doktor di Universits Lyon, Perancis. Dia tidak mungkin berbuat buruk padaku, tapi dia mendapat tekanan dari penguasa agar memejatku dari dosen dan menandatangani surat pencabutan guru besarku. Untungnya aku mendapat gelar doktor dari Perancis, kalau aku mendapatkan gelar doktor dari salah satu universitas di sini maka seluruh gelar akademisku juga akan dipreteli. Ah sebenarnya gelar itu tidaklah segalanya yang paling penting adalah kemampuan kita. Meskipun kau dikeluarkan dan gelarmu dicopot tapi ilmu yang telah melekat dalam otakmu tidak bisa mereka copot. Seandainya nanti kau bebas dan kembali ke tanah airmu kau masih bisa mengamalkan ilmumu meskipun tanpa gelar. Di dunia ini sangat banyak orang yang sukses tanpa gelar akademis. Aku malah pernah membaca sejarah Indonesia, bahwa salah seorang Wakil Presiden Indonesia yang sangat disegani yaitu Adam Malik, tidak memiliki gelar akademis apapun. Tapi kemampuannya tidak diragukan. Jadi janganlah masalah sekecil itu kau tangisi. Kau harus menjadi seorang lelaki sejati yang berjiwa besar. Dan aku yakin kau mampu untuk itu.”
            Kata-kata profesor Abdul Rauf mampu menyeka air mata sedihku. Aku semestinya malu pada diriku sendiri jika menangisi hilangnya sebuah gelar. Jika aku diharamkan belajar di Al Azhar, maka Allah mungkin akan membuka jalan untuk belajar di tempat yang lain, termasuk belajar di dalam penjara. Bahkan bisa jadi penjara adalah universitas paling dahsyat di dunia. Banyak terjadi orang-orang besar di dunia melahirkan karya-karya monumental di penjara. Ibnu Taimiyah, ulama terkemuka pada zamannya yang mendapat gelar “Syaikhul Islam” menulis Fatawanya yang berjilid-jilid di dalam penjara. Sayyid Qutb menulis tafsir Zhilalnya yang sangat indah bahasa dan isinya, juga di dalam penjara. Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi juga menulis karya-karyanya yang monumental di dalam penjara. Kenapa aku tidak berpikiran positif seperti mereka? Penjara bukanlah penghalang untuk berkarya dan berbuat. Seandainya aku tidak bisa menelorkan karya di dalam penjara, kenapa aku tidak menggunakan kesempatan yang ada untuk belajar pada Profesor Abdul Rauf. Beliau adalah guru besar bidang ilmu ekonomi. Beliau juga pernah belajar di Perancis. Dengan beliau aku semestinya bisa belajar satu rumus ilmu ekonomi, atau bahasa Perancis menskipun cuma satu kosa kata.. Rasanya mempersiapkan diri saja untuk menikmati hidup di dalam penjara, itu lebih realistis dan lebih baik daripada bersedih, berkeluh kesah dan meratapi nasib. Kuutarakan kemauanku pada beliau. Hari itu juga aku mulai menimba ilmu pada beliau. Lumayan selain ‘bonjour’ aku mendapatkan sebuah kalimat dari Victor Hugo saat merenungi suatu keadaan nyata bahwa tangan manusia banyak melakukan suatu kejahilan. Hugo mengatakan: Tempos edax, home edacior!  Artinya: Waktu kejam tapi manusia lebih kejam lagi!
* * *
            Tiga hari setelah itu, kira-kira satu jam menjelang buka puasa, sipir bersuara cempreng memanggilku. Aku yang biasanya tidak pernah takut kali ini menyahut panggilannya dengan bulu kuduk merinding. Aku bersyukur ketika Si Cempreng tidak berbuat macam-macam padaku, ia hanya membawaku ke ruang tamu penjara. Di sana ada Aisha, paman Eqbal, Maqdi, dan Amru yang telah menunggu.
            “Sore ini kita akan sedikit berbincang dan buka puasa bersama.” kata Aisha.
            “Untuk buka puasanya mungkin aku tidak bisa,” jawabku.
            “Kenapa?”
            “Aku tidak mungkin makan enak sementara teman-teman satu sel berbuka hanya dengan seteguk air dan roti isy kering dengan jubnah kadaluwarsa.”
            Aisha langsung mengerti apa maksudku. Dia langsung membagi beberapa bungkus makanan yang dibawa menjadi dua bagian.
            “Ini untuk mereka.”
            “Biar kuantar dulu.”
            Selesai mengantar buka untuk teman-teman satu sel, barulah aku mendengarkan semua perkembangan yang terjadi dari mereka.
            “Ada kabar kurang menggembirakan untukmu. Surat permohonan agar jadwal sidang berikutnya diundur sampai janin Noura bisa diperiksa DNAnya ditolak oleh pengadilan.” Kata Amru dengan wajah mengguratkan kemuraman.
            “Aku tidak kaget. Sudah aku kira.” Jawabku lirih. Kemudian aku menjelaskan prediksi-prediksi Profesor Abdul Rauf dan saran dari Ismail.
            “Aku juga memiliki prediksi dan kalkulasi yang tidak jauh berbeda. Sekarang senjata kita tinggal kesaksian Maria. Dan dia masih koma di rumah sakit. Kondisinya sangat memprihatinkan, susah untuk kita harapkan.” Kata Amru lemas.
            “Saran Ismail itu cukup bagus. Memang dibelakang Noura adalah seorang perwira menengah di badan intelijen khusus keamanan negara. Dia adik bungsu Madame Yasmin, ibu kandung Noura. Dialah yang mendalangi semua ini. Si Kumis yang mau berbuat tidak baik pada Madame Aisha itu akhirnya buka mulut juga. Tapi dia sulit disentuh. Kecuali oleh orang yang pangkatnya lebih tinggi darinya. Kebetulan aku tidak punya akses ke badan intelijen khusus. Aksesku hanya intel polisi biasa jadi tidak bisa berbuat banyak. Si Kumis itu kalau bukan desakan diplomatik dari Jerman dia juga tidak akan terproses secara hukum.” Ucap Magdi.
            “Hmm..aku ingat sekarang. Syaikh Ahmad punya sepupu yang juga bertugas di dalam badan intelijen khusus keamanan negara, namanya Ridha Shahata. Siapa tahu bisa membantu.” Sahutku sedikit optimis.
            “Saya sudah menghubungi Syaikh Ahmad, tapi sayang Ridha Shahata sedang ditugaskan ke Iran selama dua bulan. Dia baru akan kembali ke Mesir sekitar pertengahan Syawal, ketika sidang telah usai.” Tukas paman Eqbal Hakan Erbakan.
            Azan maghrib berkumandang. Kami berbuka bersama. Pembicaraan sore itu belum menghasilkan sesuatu yang nyata untuk membuktikan bahwa diriku sama sekali tidak berdosa melakukan perbuatan yang hina yang dituduhkan kepadaku. Aisha pamit dengan air mata tak terbendung. “Aku akan cari jalan untuk menyelamatkan nyawamu, Suamiku. Aku tak mau jadi janda. Aku tak ingin anakku ini nanti lahir dalam keadaan yatim. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Kau adalah karunia agung yang diberikan oleh Allah kepadaku.” Kalimat dari bibirnya yang bergetar itu membuat hatiku terasa pilu dan sedih. Tak lama lagi akan memiliki seorang anak. Dan aku tidak tahu apakah masih akan sempat melihat wajah anakku itu apa tidak? Hanya Tuhanlah yang tahu akan akhir nasibku. Apapun yang akan terjadi aku harus siap menerimanya.Untuk membesarkan hati, aku kembali mengingat kisah Nabi Yahya yang mati muda, kepalanya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Kalau kehidupan dunia adalah segalanya maka kesalehan seorang nabi tiada artinya.

0 komentar:

Sponsor Maral gel SupportContact WhatsAPP