DUA PRINSIP
DASAR PERNIAGAAN:
Sebelum saya
menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengetahui dua prinsip dasar
perniagaan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
menentukan jawaban pertanyaan diatas.
Prinsip
Pertama: Asas Suka Sama Suka
Islam yang
kita cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam
mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa kerelaannya –walau
sekedar bercanda-.
لَايَأخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ
صَاحِبِهِ لَعِبًاوَلَاجَادًّاوَإِذَاأَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ
فَلْيَرْدُدْهَاعَلَيْهِ.
Janganlah
sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak pula
bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur mengambil tongkat
saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. (HR. Ahmad, 4/221)
Tidak heran
bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama
suka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’/4:29)
Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
إِلَّابِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ.
Tidaklah
halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwanya. (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 839)
Dan pada
hadits lain beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih tegas lagi bersabda:
إِنَّمَاالْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Sesungguhnya
perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka. (HR. Ibnu Majah dan dinyatakan
shahih oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah, no. 2185 dan Irwaaul
Ghalil, no. 1283)
Dalam
riwayat lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ
عَنْ بَيْعٍ إِلَّاعَنْ تَرَاضٍ.
Janganlah
dua orang yang berjual beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas
dasar suka sama suka. (HR. Ibnu MaAhmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Musnad Imam
Ahmad, 2/536 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)
Betapa kacau
kehidupan manusia bila mereka mereka bebas membeli harta sesama, tanpa
memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis, permusuhan
bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.
Berdasarkan
ini, para Ulama` menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa
tanpa alasan yang dibenarkan.
Prinsip
Kedua: Tidak Merugikan Orang Lain:
Umat Islam
adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa penderitaan sesama
muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya
orang-orang mu’min adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat/49:10).
Dalam
riwayat Muslim no 2586 Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang
artinya, “Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang dan bahu
membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang
menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam.
Imam Nawawi
mengatakan,, “Hadits ini dengan tegas dan jelas menunjukkan betapa agung
hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga merupakan anjuran kepada mereka agar
saling menyayangi, berlemah lembut dan membantu dalam hal-hal yang tidak
termasuk perbuatan dosa atau hal-hal yang dibenci.” (Syarah Muslim, oleh Imam
An-Nawawi 16/139).
Dalam hadits
lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah
engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin
membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi
pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi
saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak
baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no.
2558)
Dengan dasar
dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama` ahli fikih mengharamkan setiap
perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan orang lain, terlebih-lebih
masyarakat umum baik kerugian dalam urusan agama atau urusan dunia.
Adakah Batas
Maksimal Keuntungan Usaha?
Tidak
ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh
seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil
yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya.
Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut:
Dalil
Pertama:
عَنْ عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ
بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ
فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ
فِيهِ.
Dari Urwah
al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya satu
dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia
membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seekor
satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat
Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba
darinya. (HR.
Bukhari, no. 3443)
Pada kisah
ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan
untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu
dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya merestui, bahkan beliau
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa
diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semakin
lihai berniaga.
Dalil Kedua:
Berbagai
dalil yang telah dikemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan dalil
dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah memiliki barang
daganganny, maka tidak ada alasan untuk memaksanya agar menjual barangnya
dengan harga yang tidak ia sukai.
Dalil
Ketiga:
Sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam, “Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau
membuat ketentuan harga jual!” Menanggapi permintaan ini, beliau Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “sesungguhnya Allah-lah yang
menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya.
Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allah dan tidak seorangpun yang
menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta
kekayaan.” (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih, no. 2894).
Saudaraku!
Coba anda cermati alasan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak untuk
menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata bahwa membatasi
harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual dagangannya adalah
bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang
bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia inginkan.
Catatan
Penting:
Walau pada
dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan tetapi pada
saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga diatas.
Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh
cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak
sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali
bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila pedagang menggunakan
trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata
menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain:
1.
Menimbun Barang
Sebagian
pedagang menimbun barang demi ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini menyebabkan
barang menjadi langka dipasaran. Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan
penawarannya guna mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini
tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara
semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa
yang menimbun maka ia telah berbuat dosa. (HR. Muslim, no. 1605)
Penimbunan
barang bertentangan dengfan kedua prinsip yang telah dipaparkan diatas,
sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan. Masyarakat pasti tidak rela
dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini dan juga meresahkan mereka.
2.
Penipuan
Karena tidak
ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah, sebagian pedagang
berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya, bahwa modal
pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen yang menawar
dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam
ini tidak selaras dengan syariat Islam.
Perhatikanlah
sebuah hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108 yang artinya, Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan
dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas
barang dagangannya, ‘Sungguh tadi adayang mau beli dengan harga yang lebih
mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah
dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang
enggan memberikan kelebihan air (yang ada disumurnya), dan kelak Allah akan berfirman:
Pada hari ini Aku akan menghalangimu dari keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana
dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan
oleh kedua tanganmu.”
Diantara
trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau timbangan
barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram.
Allah
berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang.
Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta
dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin/83:1-3).
3.
Pemalsuan Barang
Tidak asing
lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan ialah dengan
memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas
dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga
asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan
pemalsuan semacam ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecam pelaku
manipulasi semacam ini.
Dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan
tangannya kedalam bahan makanan tersebut, lalu jari jemari beliau Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam merasakan sesuatu yang basah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam bertanya, “Apa ini? Wahai pemilik bahan makanan.” Ia menjawab,
‘Terkena hujan, Wahai Rasulullah!’ Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Mengapa engkau tidak
meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang
mengelabui, maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim, no. 102)
Saya percaya
anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga tidak sudi untuk
menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil keuntungan materi.
Penutup
Saudaraku!
Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, akan tetapi
tidak sepantasnya menghalalkan segala cara. Citai-cita ini mesti diupayakan
dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda sebagai seorang muslim. Tidak
sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan anda, sehingga lalai untuk berbuat baik
kepada saudara. Ingatlah selalu, sikap mulia yang anda tunjukkan kepada saudara
anda, tidak akan sia-sia. Semua akhlak mulia, pasti mendapatkan balasan yang
setimpal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mudahkanlah
saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya dan tidak memasang
target keuntungan yang memberatkan konsumen. Percayalah, kekayaan dan
kebahagiaan hidup yang anda dambakan dengan keuntungan melimpah dengan mudah
dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat, dan bila ada
khilaf, maka itu datangnya dari kebodohan saya.
Wallahu
a’lam bishshawab.
(jawaban ini
disalin dan diringkas dari majalah As-Sunah Edisi 07/THN.XIV/Dzulhijjah
1431H/November 2010M hal. 46-49).
Pustaka : Abu Dzakwan Senin, Februari 21, 2011
Pertanyaan dalam Inbox akun facebook
kami pada tanggal 20 Desember 2010 jam 9:58
Assalamualaikum
Lillahita'ala saya mo b'tny
dalam b'dagang brp % k'untngn yg blh
Qt ambil?
Jawaban:
‘Alaikumussalam wa Rahmatullahi wa
Barakatuh
http://abudzakwanbelajarislam.blogspot.com/2011/02/dalam-berdagang-berapa-keuntngn-yang.html
0 komentar:
Posting Komentar